Jaemin menghela napasnya dengan berat, setelah dua hari berlalu ia menghabiskan waktu diluar untuk mengurusi bantuan yang dikirim istana untuk orang-orang. Jaemin benar-benar lelah, sebenarnya tugasnya kali ini tak jauh berbeda dengan tugasnya beberapa tahun belakangan. Ia harusnya sudah terbiasa akan kewajibannya itu, tapi yang membuatnya tak terbiasa saat ini adalah tak bertemu Renjun dalam waktu yang cukup lama?Intinya, Jaemin rindu Renjun.
Ada untungnya ia sempat bertemu si cantik kala itu, walaupun ada rasa ketakutan setelah melihat kalau ibu tirinya sudah mengetahui Renjun. Tapi Jaemin harap wanita itu bisa diatasi ayahnya sesuai janji ayahnya sendiri.
"Bibi, soal perjodohan aku dan Renjun." Jaemin bertemu nyonya Lee saat ia baru kembali dari kesibukannya.
"Apa lagi? Kalau kau bilang penolakan lagi, bibi benar-benar tak akan mau menemuimu lagi." Nyonya Lee sebenarnya sudah kesal begitu mengetahui kalau beberapa hari ini, Renjun tak datang ke istana. Pikirannya sudah jelas menuding Jaemin yang lagi-lagi sengaja menghindari Renjun.
"Bukan, aku sudah katakan pada Renjun kalau aku menerima perjodohan ini. Kami akan lanjutkan semuanya."
Nyonya Lee mengerjapkan matanya, yang tadinya melirik sinis sang keponakan kini ganti menangkup wajah pemuda yang seumuran dengan putranya itu. "Ketakutanmu?"
"Bibi bilang akan bantu aku lindungi Renjun." Jaemin memasang wajah nyonya Lee penuh tuntutan. Minta sang bibi kabulkan ucapannya itu.
"Kenapa tidak dari dulu kau terima saja? Bibi kan sudah katakan itu juga dari dulu!" Jujur Nyonya Lee senang dengar keputusan akhir Jaemin, tapi kalau ingat bagaimana Jaemin sebelumnya ia jadi kesal lagi.
"Iya maaf, tadinya aku pikir Renjun bisa sedikit terlupakan dari pikiranku."
"Ternyata?" Nyonya Lee bertanya.
Jaemin menggelengkan kepalanya. "Tak bisa! Bibi malah membawanya kemari bahkan setelah aku ucap tak mau perjodohannya. Mana bisa aku melupakannya sementara wajahnya setiap hari aku lihat?!"
"Harusnya dari awal tak usah ada tolak menolak segala, kasihan kan Renjun sempat sedih saat tau kau menolak dijodohkan dengannya."
Jaemin jadi teringat kalau ia memang belum pernah ungkap soal alasan sebenarnya ia sempat menolak Renjun. Seingatnya Renjun pernah menerka kalau dirinya menolak itu karena mereka belum saling kenal jauh. Harusnya Jaemin katakan alasan sesungguhnya ia sempat menolak si cantik itu.
Renjun menutup buku yang tadinya ia baca, tiba-tiba ia kehilangan minat membaca padahal buku di genggamannya adalah yang ia inginkan. Matanya terpejam seiring kakinya yang ia gerakkan supaya ayunan yang ia duduki bergerak membawa tubuhnya terayun.
Pemandangan belakang estate sang ibu yang biasa Renjun sukai setiap pagi kini terasa membosankan juga, hela napasnya terdengar samar diantara tiupan angin dingin yang menerpanya. Rambutnya bergerak lucu saat tertiup angin, hidungnya menghirup dalam udara pagi yang sejuk, pipi dinginnya merasakan kecupan hangat yang membuat matanya terbuka seketika karena terkejut.
"Jaemin!" Tanpa sadar bibirnya mengulas senyum senang melihat keberadaan pangeran Na itu.
Jaemin balas tersenyum kemudian ia segera memutar langkah yang tadinya berada di belakang ayunan jadi duduk di samping Renjun untuk raih pinggang sempit itu untuk ia rengkuh.
"Pipinya dingin, kasihan." Tangan Jaemin yang satunya mengusap halus pipi Renjun.
"Pagi-pagi sudah kemari, memangnya sibuknya sudah selesai?" Tanya Renjun sambil menyelipkan buku yang tadi di pangkuannya ke samping tempat duduknya.
