[3] A Ba Ta

748 70 3
                                    

TIDAK—" Rukyat berteriak, namun lelaki berambut putih itu langsung membekap.

Seraya menutup mulut Rukya, sang pemilik rumah bergegas masuk ke dalam. Ia buru-buru mengunci pintu, lalu menutup kelambu.

Rukya sempat memukulinya, tetapi berhenti ketika mendapati gelagat sang pemilik rumah berubah melindungi. Dia pun mulai mengatur napas. Sembari tangan mengelus dada, ia memanggil sosok lelaki di depannya,

"Siapa kamu?!"

Lelaki yang melindungi Rukya itu pun menoleh. Ia melirik Rukya dengan mata perak yang mengilat seakan sanggup mencekik.

"Seharusnya akulah yang bertanya itu kepadamu!" balas sang pemilik rumah bernada tak kalah tinggi dari Rukya. "Kamu juga! Kenapa masuk ke rumah orang lain tanpa permisi!? Bahkan sampai dikejar warga. Kamu maling, ya!?"

"Enak saja!" balas Rukya menggerutu, "aku Rukya Ruhaji! Keturunan keluarga pendakwah yang kondang di seantero negara! Mana mungkin aku melakukan tindakan tercela seperti pencurian!"

Sang pemilik rumah tiba-tiba terdiam, dan wajahnya berubah datar. Ketika mendengar kata pendakwah, ia langsung berpaling dari Rukya. Wajahnya sontak berubah malas, lalu berkata,

"Sebaiknya, kamu pergi sajalah dari sini!"

"Apa!?" Rukya tersulut emosi, "siapa dirimu sampai berhak mengusirku?! Ya, kamu memang sudah menyelamatkanku, tapi kamu hampir membuatku jantungan dengan parang yang kau bawa tadi!"

"Memangnya kamu berharap apa?" tanya sang pemilik rumah memutar bola mata. "Aku Tagor. Diriku sudah terjebak di sini selama enam bulan. Tentang parang yang kubawa tadi, ceritanya panjang."

Rukya sontak tertegun. Ia menyadari ada suatu hal yang salah dengan jawaban Tagor. "Tunggu dulu," ungkapnya, "kamu bilang sudah terjebak di sini selama enam bulan? Bagaimana bisa!?"

Tagor memilih bungkam. Ia enggan menanggapi gadis yang seumuran dengannya itu.

Meski Rukya tak dihiraukan Tagor, gadis setinggi bahu sang pemilik rumah itu sontak menelisik tiap sudut tempat tinggal. Ia mendapati dinding kayu berwarna hitam dan lantai yang tidak berubin. Selain itu, jajaran lukisan bertinta hitam dan patung raksasa seram menyambut setiap tamu yang datang.

Hingga Rukya dapat menarik benang merah, lalu berkata, "Kamu seorang seniman, kan?"

Tagor sontak menoleh. Ia menyorotkan tatapan sinis sebelum menjawab, "Kalau iya, kenapalah?!"

"Hah?" Rukya heran, "ya, kalau begitu, kamu tinggal pergi saja dari sini! Seniman seterampil kamu pasti bakal terkenal, menurutku—"

"Percuma," sahut Tagor menghempaskan badan ke atas sofa kayu, "enam bulan lalu, aku dulu persis sepertimu: idealis. Aku menyangka, warga Juleskandoi akan berubah jika dibujuk dengan seni, tapi itu sia-sia. Mereka malah merampas seluruh modalku, dan membiarkanku tinggal di sini dengan satu syarat."

"Apa?" tanya Rukya membujuk Tagor untuk meneruskan perkataan.

"Mereka ingin aku untuk membuat senjata tajam," jawab Tagor menghela napas berat.

Jadi, begitu, pikir Rukya mengangguk seraya menelisik berbagai pajangan senjata di rumah Tagor. Dia terdiam sesaat. Gadis yang biasa berlaku congkak itu tiba-tiba terenyuh. Hatinya tersentuh setelah mendengar penjelasan dari Tagor. Rukya pun hendak menenangkannya, tapi sang pemilik rumah buru-buru mengalihkan pembicaraan—

"Lah, sekarang kamu juga! Segera pergilah dari rumahku!" usir Tagor menodongkan parang. "Lagi fokus manasin besi, malah diganggu sama buronan!"

"Jahat!" tolak Rukya mencengkeram pegangan sofa, "kalau mereka membunuhku, bagaimana?"

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang