[13] Listener

422 64 1
                                    

MALAM ITU, Rukya terbangun dalam gelap.

Awalnya, dia mengira mentari sudah menjinjing di langit. Namun, hitam masih meliputi, terutama rumah D. Ia tidur di ruang tamu, bersama D di samping. Tentu, mereka terlelap di kasur yang berbeda. Rukya di atas matras katun, sedangkan D tikar bambu. Meski begitu, pemuda gahar itu mendengkur tipis, terlampau lelap.

Ajaib sekali bisa bangun sepagi ini tanpa alarm. Rukya membenarkan dalaman hijab, lalu melirik arloji. Sudah pukul tiga lebih tiga puluh. Semestinya, tidak terlalu lama untuk salat malam.

Rukya buru-buru berdiri, lalu mengambil wudu di belakang. Ini bukan kali pertama gadis asing itu menggunakan kamar mandi. Dia tak perlu membangunkan D. Bahkan, Rukya sungkan untuk mengganggunya. Jadi, ia memilih berjinjit dalam gelap daripada ditemani.

Ibu D masih tidur. Di ruang tengah, Rukya tak menemui apa-apa. Dipan lebar memenuhi setengah ruang. Di samping, ada dua ruang. Satu kamar tidur tersedia berpintu agak menjorok—bekas milik ibu D. Namun, satu lainnya ruang misterius yang tidak bisa dimasuki. D bilang, hanya ada barang rongsokan yang berdebu.

Rukya masih berjalan jinjit untuk mencapai kamar mandi. Keramik tak menempel di lantai, hanya ada balutan semen halus. Sebelum memasuki bilik, dapur terbuka rapi dengan tungku yang mati. Beruntunglah keran sudah dipasang. Jadi, Rukya tak perlu menimba di sumur.

Setelah berwudu, Rukya meraba-raba jalan dalam gelap. D pernah bilang, gadis yang menginap itu bisa menggunakan mukena di kamar sang ibu. Rukya bergegas menuju kamar depan. Dia buru-buru membuka pintu pelan. Hingga ketika sudah tertutup, pikiran Rukya berjalan, lalu ia menyalakan lampu.

Setidaknya, cahaya di kamar tertutup tak akan membangunkan siapa pun. Rukya meraba saklar hitam yang tertaut di samping pintu.

Lampu menyala oranye, lalu seisi kamar terlihat jelas. Rukya terperangah. Ia tak menyangka akan menyaksikan benda-benda keren tersebut. Namun, gadis yang masih dibasahi wudu itu tahu telah salah masuk ruang.

Jadi, ini kamar D! Rukya menganga lebar, sampai menutup mulut.

Pigura berjajar rapi, menampilkan sertifikat dan foto D tersenyum lebar. Juara 1 olimpiade matematika, juara 1 panjat tebing, dan peraih nilai ujian sekolah tertinggi di SD, SMP, sampai SMA. Tulisan itu membubuhi berlembar-lembar kertas kelabu. Debu menutupinya. Namun, Rukya hanya mampu menggeleng.

D benar-benar tersenyum lebar. Di sampingnya, sang ibu dan bapak memeluk bangga. Ujung mata Rukya mengekori semua pigura hingga ia menelisik semua tulisan.

Selamat, piagam penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi fakultas teknik di Universitas Terbaik Bangsa jatuh kepada .... Rukya memutus bacaan hingga mata membelalak lebar. Ia tak menyangka akan mengetahui rahasia terdalam pemuda yang dikenal selama lebih dari empat puluh hari itu. Nama D.

Dyatuyya—

"Kenapa kamu bisa ada di sini!!?" D tiba-tiba menyentak pintu. Raut merah seakan bisa meledak segera membubuhi wajah.

"Mengapa kamu tidak pernah mengatakan nama asli, Dyatuyya!" Rukya tidak menjawab, malah mengungkit masalah lain. Benar, dia kaget mula-mula, tetapi otak terfokus pada rahasia yang disimpan D.

"Bukankah aku sedang bertanya, kenapa kamu memasuki kamar ini!!?" D berusaha menahan volume untuk tidak lebih keras, sampai sanggup terdengar oleh sang ibu. "Kamu sudah kularang 'kan masuk ke sini!?"

"Dyatuyya, dengarkan aku!" Rukya tak mau kalah keras. "Aku berbicara di sini sebagai seniormu, dan aku amat kecewa dengan keputusanmu! Lihatlah, kamu sedang belajar di perguruan tinggi terbaik di negara, sama sepertiku, bahkan kamu adalah mahasiswa terbaik. Lantas, mengapa kamu menyia-nyiakannya!"

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang