[1] Inevitable Swear

1.2K 89 2
                                    

COPET!" Rukya berlari sekencang angin.

Gadis bertubuh ramping itu menyibak kerumunan dan mengejar sosok jambret yang membawa kabur tas kecil miliknya. Meski kakinya pendek—sebagaimana gadis setinggi 150 sentimeter pada umumnya, Rukya menerjang orang-orang yang sedang mengantre untuk memasuki bandara. Dia tidak pernah berpikir, pagi sebelum ia meninggalkan rumah, malah langsung disambut oleh copet yang memojokkan Rukya sampai tak bisa pergi ke mana-mana.

Pasalnya, tas kecil yang Rukya bawa adalah purse limited edition buatan Luois Vuitton. Apalagi, handbag berwarna coklat emas itu berisi dompet dan smartphone yang menjadi senjata andalan Rukya untuk bertahan hidup. Tanpa kedua benda itu, berakhirlah pelarian Rukya dari rumah. Namun, gadis yang sudah mengibarkan bendera perang kepada keluarga Ruhaji ini tidak akan pulang meskipun ia harus hidup di kolong jembatan.

Ke mana pun, asalkan bukan kembali ke keluarga Ruhaji!

Rukya bersungut-sungut. Amarah terhadap keluarga Ruhaji yang tersulut kemarin malam, kini tercampur dengan kekesalan kepada sosok jambret berjaket kulit hitam yang membawa harapan hidupnya pergi. "Berhenti kau, Copet!"

Sial! umpat Rukya tiba-tiba memutus kejaran. Napasnya memburu, dan ia tak sanggup mengejar si pencopet.

Sosok yang menjambret purse Rukya tadi memang berperawakan kecil. Gerakannya selincah dan secepat atlet lari. Pakaian serba hitam dan topi bisbol adalah ciri-ciri yang melekat di benak Rukya. Jika berhasil ditemukan, si pencopet harus bersiap babak belur, apalagi badannya tak sekekar preman-preman pasar. Tentu, sosok sepertinya amat mudah diberi pelajaran.

Namun, semua percuma.

Rukya hanya mampu kembali menjemput koper yang tadi ia tinggal untuk mengejar si pencopet. Gadis berkerudung merah jambu itu mengumpat dan mengentak berkali-kali. Ia terus mengutuk sang bunda dan sosok yang telat membawa handbag-nya pergi. Namun, Rukya masih tak puas menyalahkan, ia pun menatap sinis kepada orang-orang di sekitar. Mengapa kalian tidak membantuku, apalagi para satpam! Malah dia menyuruh untuk mengikhlaskan!? Persetan sekali dengan para pemalas seperti orang-orang ini!

Rukya buru-buru menggeret koper putih yang mengilap. Ia bergegas pergi, atau setidaknya, duduk sejenak untuk beristirahat sekaligus berpikir langkah yang harus ia ambil selanjutnya.

Mengapa semua menjadi begini? Rukya menghempaskan tubuh ke kursi berbantalan empuk.

Sejam yang lalu, ia duduk di bangku pesawat untuk pergi dari rumah. Gadis berusia 22 tahun itu menyangka hidupnya akan terbebas setelah kejadian tadi malam. Ketika Rukya sampai ke kamar tidur, dia buru-buru memesan tiket penerbangan ke ibukota. Meski tidak ada sanak saudara di sana, Rukya masih bisa tenang sebab di tempat itulah ia menyelesaikan pendidikan sarjana manajemen. Hingga jam menunjukkan pukul satu dini hari, Rukya terlelap, dan berharap semua akan berbeda saat ia membuka mata.

Namun, takdir berkata hal yang berbeda, setidaknya sampai Rukya mendarat di bandara ibukota.

Jam digital di atas papan informasi menunjukkan pukul sebelas. Matahari mulai beranjak ke puncak. Udara panas ibukota berangsur menyesaki dada, berbeda dengan rumah Rukya yang diselimuti udara sejuk pegunungan. Aroma kopi dan roti kian semerbak di ujung kios-kios bandara. Riuh penumpang yang hilir-mudik semakin ramai tak terkira. Semua memiliki kesibukan masing-masing. Tak ada waktu untuk mengurusi penumpang lain, apalagi orang asing seperti Rukya.

Memang, teriakan gadis berpakaian serba merah jambu itu menarik perhatian seluruh orang di bandara tadi. Namun, setelah Rukya menyerah dan menghentikan keributan, seluruh mata tak lagi memandangnya.

Aneh. Rukya memijit kening, mengapa tidak ada yang menolongku—

"Rukya Ruhaji." Sebuah suara memanggil nama gadis yang kalut dalam waswas itu. "Bagaimana, kamu tidak akan kembali ke rumah, kan?"

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang