PURNAMA masih menggantung di langit, agak tergelincir, tetapi ruang tengah keluarga Bragjow tetap benderang. Di aula yang dapat diisi seratus orang, berdirilah lima pria agak ragu. Badan kekar, tetapi bersarang lemak. Tato menghiasi lengan, dada, dan pinggang. Tak lupa bekas sayatan yang mengukir di wajah.
Mereka berdiri gemetar. Para algojo yang harus mengakhiri nyawa bocah pemilik kebun apel itu hanya mampu menunduk, bahkan menyerah pada takdir. Tentang nyawa dan masa depan, tak tahu apa yang akan terjadi. Padahal, Arizan sudah berjanji, sang papa menjadi urusan pribadi.
"Jadi, Arizan, papa ingin berbicara kepadamu," tutur sang sosok pemimpin.
Ibarat dojo, aula yang bercat putih itu amat kental dengan budaya Jepang. Di masing-masing tembok yang melawan pintu, sepuluh pigura terpampang garang. Pria yang berdiri di depan memiliki wajah yang sama dengan foto-foto tersebut. Kulit kuning langsat. Mata sipit dengan alis tercukur silet. Rambut cepak rutin disemir. Wajah serius berkeriput yang jarang tersenyum.
Bronto Bragjow, penerus kesebelas keluarga preman sejak zaman penjajahan Jepang, sekaligus penguasa Juleskandoi. Ia memimpin di pusat desa. Rumah bergaya tradisional jepang yang dikelilingi tembok beton setinggi dua meter adalah pusat pertahanan. Menara tinggi yang menjulang di timur menjadi menara pengintai, dan ia menemui musibah menyedihkan malam ini.
"Apa Papa akan menceritakan kisah membosankan itu?" sahut Arizan tak antusias. Ia duduk di samping sang papa, diawasi oleh kelima pria utusan, sekaligus saksi.
"Tidak, jangan katakan hal hina seperti itu, Sayang!" balas Bronto menyeringai sampai menarik keriput di wajah. "Papa kira, kamu harus diingatkan tentang asal mula keluarga Bragjow."
Arizan membuang pandangan sesaat seraya mendengus, lalu mengembalikannya kepada sang papa. Bronto pun terkekeh menyaksikan keberanian putri semata wayang.
"Hanyalah orang kuat yang mampu bertahan, dan begitulah keluarga Bragjow bertahan hingga sekarang," Bronto memulai kisah. "Dan segala rintangan harus disingkirkan demi mencapai tujuan itu—"
"Sampai Papa rela membunuh lelaki yang kucintai?" potong Arizan ketus.
"Hahahaha!" Sang papa malah menimpali dengan tawa kencang, "tahu apa kau tentang cinta, Sayang!? Umurmu baru lima belas tahun, dan kau belum bisa berdandan dengan benar!"
Lima pria yang menjadi saksi penolakan Arizan refleks menyembur tawa. Namun, mereka buru-buru memasang wajah gahar kembali ketika mendapat sorot tajam dari putri sang bos. Meski terhina, Arizan tak langsung membantah. Ia menarik napas panjang, dan memutuskan bersikap dewasa—sebisanya.
"Kau tahu, Sayang?" tanya Bronto menyalakan rokok yang terselip di saku. Kemeja putih dan jas hitam adalah pakaian andalan, layaknya yakuza. Dia menyedot sedikit asap, lalu menghela keras, "Tanyakan kepada kelima paman itu, tentang putra-putri mereka, bagaimana sikap mereka dua minggu belakang?"
Arizan mengernyitkan dahi. Dia bergegas mengedarkan padangan kepada pria-pria yang bersimpuh dengan urutan tinggi badan. Hingga sang bongsor berkata terlebih dulu, Arizan baru bisa melemaskan pandangan.
"Anakku tak lagi membantu mencopet," tutur si bongsor.
"Anakku juga," sahut pria di sebelah, "putriku juga enggan ikut kerja denganku lagi."
"Lantas apa hubungannya dengan D?" tanya Aizan meninggikan suara.
"Maaf atas kelancangan kami, Arizan," sahut pria yang duduk di tengah, "kami mendapati, semua kejadian itu bermula dari bocah pemilik kebun apel yang tiba-tiba menyuplai buah-buahan lagi."
"Bukannya tidak ada hubungan?" debat Arizan memainkan logika.
"Ada hubungannya, Arizan!" timpal pria di urutan keempat. Entah kenapa, mereka seperti sudah berjanji menjawab berurutan. "Anak-anak kami malah bersikap lunak. Mereka memijati kami, bahkan menyeduhkan kopi. Itu tidak biasa!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Apel Mana Lagi
ChickLit[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Terancam dinikahkan, Rukya Ruhaji---anak pendakwah kondang yang manja dan sok pintar---harus mengubah desa yang berisi preman untuk mendapatkan kembali kehidupan mewah. *** Sebagai anak tunggal, Rukya tak perlu bekerja ke...