[9] Fifty

489 66 2
                                    

IBUKU lumpuh setelah terkena stroke setahun lalu."

D meneruskan sendokan bubur ayam ke mulut sang ibu. Ia menunjukkan kepada Rukya sejenak alasan D menolak tawaran. Ada seseorang yang lebih berhak ditemani pemuda jantan itu daripada seluruh penduduk Juleskandoi, dan sosok tersebut haruslah selalu menerima kasih sayang dari sang putra.

D benar. Ibunya lebih penting.

Ketika D telah menjawab semua tanda tanya yang tersimpan sejak kemarin malam, meski secara tidak langsung, Rukya tak segera mematahkan harapan. Gadis berkulit putih langsat itu malah tersenyum, tidak emosi seperti biasa. Ia melangkah beberapa kali ke depan, dan membiarkan D tetap fokus menyuapkan bubur ke mulut renta sang ibu.

Rukya tiba-tiba mengambil sapu, lalu mulai membersihkan lantai rumah.

"Hentikan, Kak Rukya!" seru D menghentikan Rukya yang sedang menyapu. Suara derit ijuk dan lantai spontan menolehkan D kepada gadis yang tiba-tiba membantu itu.

"Kenapa? Memang seharusnya begini, kan?" jawab Rukya mengangkat sebelah alis. Ia berpura-pura tak tersentuh setelah menyaksikan tanggung jawab yang harus D pikul. Gadis sok pintar itu berusaha ceria seperti biasa. "Kamu enggak ada waktu, kan? Jadi, sebaiknya aku membantumu agar kamu bisa membantuku."

"Tapi mana bisa begitu! Aku malah menyusahkanmu—"

"Tidak apa!" jawab Rukya tegas, "masih ada jalan keluar yang bisa kita ambil untuk menangani masalahmu dan penduduk Juleskandoi."

D mengernyit. "Caranya?"

"Aku membantumu dan kita akan melakukan tugas kita untuk penduduk Juleskandoi," tutur Rukya antusias.

Ketika mendengar usul Rukya, D merengut. Ia tak bisa menolak bahwa rencana yang diusulkan oleh gadis cerdas itu patut dicoba. Namun, ada yang mengganjal di hati D.

"Tapi aku tak bisa," balas D menundukkan muka seraya menggeleng.

"Kenapa tidak bisa!?" sahut Rukya spontan, "Apa kamu ada cara lain yang lebih bagus!?"

"Bukan begitu!" jawab D menghela napas panjang, "aku tidak mau merepotkanmu."

Rukya sontak tersenyum. Ia kagum kepada D sekali lagi. Pemuda garang itu diam-diam menyimpan watak lembut. Namun, kurang dalam hitungan jari, gadis yang sedang terenyuh itu langsung menyembunyikan senyum. Ia pun mencoba bersikap biasa.

"Kamu polos sekali, D!" sindir Rukya menyunggingkan senyum, "mengurus rumah adalah hal yang kecil bagi seorang Rukya."

Tentu, Rukya berbohong. Ia tidak pernah menurut ketika sang bunda meminta tolong. Seribu alasan terus dikeluarkan. Namun, entah mengapa, gadis yang berpura-pura mandiri itu menganggap kasus D sebagai pengecualian.

Ketika Rukya mulai menemukan kesucian di antara kubangan dosa penduduk Juleskandoi, hatinya luruh. Tak ada lagi niat lain yang terselubung, hanya kebaikan yang tersisa. Karena itu, dia akan mengubah desa yang dipenuhi pendosa ini sekuat yang ia bisa.

"Bagaimana, apa yang bisa kubantu?" tanya Rukya menghampiri D yang tertegun seolah menyetujui tawaran. "Apa aku yang harus menyuapi ibu kamu, lalu kamu sarapan dan beres-beres diri—"

"Tidak usah!" sahut D menarik mangkok bubur yang hampir digapai Rukya, "maksudku, aku saja yang menyuapi ibuku. Aku tidak mau jauh darinya."

Awalnya, Rukya terkejut ketika D meninggikan suara. Ia menyangka pemuda garang itu akan memarahinya. Namun, saat D meminta maaf seraya menundukkan kepala, Rukya tersenyum hangat. Ia paham, D ingin berbakti kepada orang tuanya sendiri.

"Baik," balas Rukya bernada hangat, "aku akan membersihkan rumah dan menyiapkan sarapan untukmu."

"Tapi—"

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang