[5] Apple Juice

568 60 0
                                    

KE UJUNG barat Juleskandoi, terus, sampai bertemu kebun apel.

Rukya menderapkan langkah menghunjam. Ia mengangkat rok putih pucat tinggi-tinggi. Gadis yang kembali bersemangat itu berlari secepat entak kuda.

Sinar oranye yang menembus dinding kayu, mulai memerah seiring langkah Rukya. Gedung-gedung berlantai satu pun kian merenggang searah dengan larian. Semakin ke timur, rumah semakin jarang, dan dipertemukanlah Rukya dengan sebuah bangunan berhalaman luas—

Sebuah benda seringan bola voli menimpuk kepala Rukya sampai menghentikan langkah gadis yang tergopoh itu. Ia spontan menelisik asal bola kucel yang menghantam dahi, dan sumbernya ada di sebuaj jendela yang terbuka di atas loteng.

"Tolong!" Seberkas suara cempreng melengking dari jendela yang ditatap Rukya. "Bisakah kamu mengembalikan botol itu kepadaku?"

Itu adalah seorang bocah.

Di rumah terakhir yang membatasi Desa Juleskandoi, sebuah rumah bercat kelabu seakan menjadi tempat persinggahan Rukya. Sebelum ia memasuki jalanan setapak yang dikelilingi oleh rimbunan pohon apel, gadis yang sedang memegangi kepala itu memusatkan perhatian kepada bocah yang memanggilnya dari ujung jendela.

Rukya ingin sekali marah. Masalahnya, ia ingin menuju ke rumah penduduk Juleskandoi terakhir yang belum didatangi. Malah, langkahnya harus terhenti sebab timpukan yang sanggup mengedutkan kepala.

Meski terkesan membuang waktu, Rukya sontak memilih diam, lalu meladeni bocah yang berada di ketinggian tiga meter dari atas tanah itu. Dia pun mengambil gumpalan hijau mengkilap layaknya bola yang ternyata sampah botol plastik.

"Kamu mau ini?" ucap Rukya menyodorkan benda yang diminta oleh si bocah. "Eits, ada syaratnya."

Rukya menyeringai. Ujung bibirnya mengangkat selayaknya sedang menjalankan rencana—atau malah kelicikan.

"Apa itu?" tanya si bocah berambut sebahu dan poni panjang. "Tapi bukannya lebih mudah jika kamu mengembalikannya ke aku—"

"Tentu tidak!" sergah Rukya mengejutkan si bocah dengan suara keras, "kamu jarus menjadi muridku, lalu belajar mengaji setiap selepas asar."

Si bocah melongo. "Apa maksud kamu? Apa itu mengaji? Dan buat apa aku menjadi muridmu? Aku bahkan tidak diperbolehkan sekolah—"

"Menurut sajalah, kamu!" bentak Rukya mengentakkan kaki. Kali ini, gadis yang menyempatkan waktu untuk berdebat dengan bocah itu tidak akan melepaskan kesempatan.

Anak kecil berambut sebahu itu berbicara lemah lembut. Ia polos, berbeda dari bocah-bocah yang berkeliaran di seantero Juleskandoi.

Rukya telah mengitari seluruh penjuru desa hampir sebulan penuh. Namun, dia tak menyangka bahwa masih ada seseorang yang belum ia jumpai, dan orang tersebut—lebih tepatnya bocah—memiliki perangai yang santun. Ya, meskipun dia tidak memanggilku Kak, perilakunya masih belum sampai memantik amarah.

"Panggil aku Kak," seru Rukya membujuk si bocah. Aku ingin mengetes apakah dia akan menurutiku—

"Kak," jawab si bocah tanpa ragu.

Rukya terperangah. Bagai menemukan harta karun di tengah gurun pasir, ia sontak menyeringai sampai matanya berkaca-kaca.

Dia menurut! Rukya mengusap kedua pelupuk untuk mengeringkan bulir air mata haru. Aku tidak akan melepaskan anak itu! Dia harus menjadi muridku! "Bagus!" puji Rukya mengacungkan jempol, "siapa namamu? Aku ingin memanggilmu dengan benar agar lebih enak."

Si bocah terdiam sejenak. Ia berkedip beberapa kali. Wajahnya menggambarkan ribuan pertanyaan berseliweran di kepala. Namun, pada akhirnya, gadis kecil berponi menutupi sebelah mata itu menjawab,

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang