[23] Mana Lagi

647 68 1
                                    

JUARA PERTAMA lomba menghafal Al-Quran adalah ...."

Jantung semua orang berdegup kencang. Jeda di antara kalimat pembuka dan nama amatlah menyiksa. Keringat dingin bercucuran, bahkan tak ada seorang pun yang sanggup bergerak. Satu nama saja, dan itu harusnya—

"Dai Ton!"

"ALHAMDULILLAH!!!"

Sorak dan sujud syukur bersahutan dari bangku penonton bagian depan. Di sana, Rukya menangis haru dalam sujud. Dia pun berdiri, lalu merangkul Dai Ton bangga. Sang ibunda juga turut memeluk Rukya. Ia bangga, putri semata wayang berhasil mengajari murid hingga memenangi lomba.

Dai Ton menghambur ke atas pentas untuk diberi trofi dan uang pembinaan. Juara kedua dan ketiga berturut diumumkan, namun perhatian Rukya hanya menuju sang anak didik. Tinggal Iswa, dan Tagor adalah orang yang paling dilanda gugup setelah Rukya.

"Dan Juara pertama lomba melukis kaligrafi adalah ...."

Sekali lagi, jantung semua orang berdegup kencang. Riuh kemenangan tiba-tiba berhenti, dan berganti tatapan tegang penuh harap. Mereka memeluk Iswa erat-erat. Sampai Rukya teringat pertanyaan Iswa sebelum berlomba, Bagaimana kalau aku tidak menang?, Rukya mengencangkan pelukan, lalu berbisik.

"Apa pun hasilnya, Iswa sudah sangat hebat bisa sampai di titik ini—"

"Iswa Ton!"

Belum selesai menenangkan sang anak didik, sorak-sorai sekali lagi dikumandangkan. Tangan yang gemetar dibanjiri keringat dingin, berganti pelukan erat suka cita. Iswa menangis gembira amat kencang, sedangkan Rukya berucap alhamdulillah berkali-kali. Hingga Iswa pun menyusul Dai Ton ke atas panggung, senyaplah seisi bangku penonton.

Rukya tersenyum hangat. Ia menyaksikan kedua murid tersenyum lebar seraya menenteng trofi. Piala tersebut keemasan, kurang lebih setinggi kepala. Ada empat pilar menyangga. Setelah girang mendapat trofi, panitia memberikan kertas berlaminating bertuliskan lima juta rupiah kepada Iswa dan Dai Ton. Rukya bersyukur tujuan semua orang tercapai.

"Terima kasih, Kak Rukya," ucap D duduk di kiri Rukya.

"Tidak, aku yang berterima kasih," jawab Rukya merendah.

"Kamu berhasil memenuhi cita-cita semua orang," balas D, "Iswa dan Dai Ton memenangi lomba. Bang Tagor kembali baik seperti semula. Arizan juga. Nyonya Rikesuri berhasil berdakwah di Juleskandoi berkatmu. Bu Kusir pun bisa bertemu dengan idola, begitu pula Nyonya Ton, bahkan beliau bisa berjualan jus apel lagi. Lalu kamu adalah juaranya, kamu berhasil menyelesaikan tantangan ibunda, dan tetap bisa pulang ke Juleskandoi."

"Alhamdulillah, D."

D tiba-tiba menghela napas panjang. "Meski aku belum mendapatkannya, aku akan percaya dengan kata-katamu," ucapnya, "aku masih harus menunggu waktu, hingga ibu bisa menyaksikan Juleskandoi yang lebih baik."

Rukya terdiam. Dia menyadari D belum menerima kemenangan yang ia perjuangkan selama setahun. Dia tetap mendirikan salat, berbeda dengan Tagor. Bahkan, dia sudah berbakti kepada ibu, sampai mengorbankan masa depan. Pantaslah dia bersedih. Namun, bukan Rukya kalau dia berpangku tangan begitu saja.

Rukya tiba-tiba bergegas menghampiri sang ibunda. Dia meninggalkan D heran sendirian. Di kursi belakang, gadis berbusana seragam dengan sang ibunda—serba putih—berisik seraya tersenyum memohon. Namun, Rikesuri Ruhaji malah tersenyum bangga seraya mengelus kepala sang putri. Rukya pun melonjak girang sampai mengagetkan D.

Dia kembali duduk di kursi. D pun bertanya penasaran. Namun, Rukya enggan menjawab dan berpura-pura tak tahu apa-apa. Beruntunglah D adalah pemuda polos, sehingga enggan mengulik urusan orang lain.

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang