[11] Initial D

465 60 0
                                    

DI BAWAH sinar purnama, Rukya menyusuri jalanan gelap di antara rumah-rumah berlantai satu Juleskandoi. Malam ini adalah pertengahan Bulan Zulhijah, sehingga cahaya lembut rembulan bersinar lebih terang daripada hari-hari biasa. Meski begitu, ada juga yang salah pada detik tersebut selain perihal penerangan.

Suara. Entah kenapa, Juleskandoi ramai di beberapa sudut. Lampu-lampu menyala kuning remang. Selain itu, banyak bisik-bisik obrolan bernada kasar saling bersahutan.

Ada rasa heran terlintas di benak Rukya. Benarlah ia keluar sedikit larut malam daripada biasa. Ketika mengantar apel bersama D, gadis berbusana muslim menjuntai itu berangkat tepat setelah salat isya. Namun, hari ini berbeda. Ia berangkat pukul delapan lebih tiga puluh. Baginya, tidak terlalu berbeda keluar agak larut.

Rukya menyusuri jalan ke barat. Paving kelabu berselangan menemani langkah. Beberapa kali, ia melongok, lalu mempercepat jalan. Ada pikiran yang mengganjal tentang D. Bukan mengenai kebencian dan puji-pujian yang dilontarkan ibu-ibu, melainkan perkataan beberapa hari lalu.

Jangan berlama-lama di luar ketika malam, atau tidak penduduk Juleskandoi akan berhamburan melaksanakan rutinitas. Suara D melintas di benak.

Sensasi merinding menjalari tubuh. Rukya bergegas mengangkat rok, lalu berjalan cepat. Dia baru sampai di tengah jalan utama. Seisi Juleskandoi tampak jelas dari gerbang hingga ke pusat. Namun, gadis berbusana muslim putih itu tiba-tiba berhenti sejenak. Perhatian teralih ke sosok yang berdiri di dekat pintu masuk desa.

"D!" teriak Rukya seraya berlari. Ia batal menuju barat. Mengapa pemuda itu keluar malam-malam?

Pria yang dituju Rukya itu spontan menoleh. Wajah datar berganti khawatir seraya menggeleng. D mencoba berteriak, tetapi enggan melontarkan suara.

"Jangan—"

"D! Sedang apa!?" Rukya tak membaca raut khawatir di wajah D.

"Kamu mengapa keluar malam-malam?" balas D berbisik, "bukannya sudah kubilang jangan keluar terlalu larut!"

Rukya sontak mengernyitkan dahi. Seketika, perkataan penduduk Juleskandoi tentang D terlintas di benak.

"Jadi, kamu melarangku keluar agar kamu saja yang mendapat penghargaan dari penduduk desa?" tuduh Rukya memicingkan mata seraya menunjuk-nunjuk.

"Apa yang kamu bicarakan!?" balas D heran. Namun, pemuda berkaus hitam polos itu langsung mengalihkan pembicaraan. Ada yang lebih penting. "Kamu segera pergi dari sini!"

"Tidak mau! Aku tidak terima dipecundangi olehmu—"

"Kak Rukya, dengarkan aku," timpal D memendekkan cecaran, "bahaya jika kamu berada di sini—"

"Memangnya ada apa!? Apakah aku akan mati, hah!?" bentak Rukya meninggikan suara memojokkan D.

Umpatan sontak tak saling berlontaran. Pemuda yang lebih muda itu tak membalas Rukya. Tidak mengalah, melainkan sudah terlambat. Gemeresak langkah di beberapa gang-gang membekukan tubuh. Raut D berganti ngeri seketika.

"Kamu segera berlari!" minta D berbisik tergopoh. Mata panik terpasang di depan wajah, hingga menyadarkan Rukya bahwa peringatan tadi sungguh-sungguh.

"Siapa yang datang kemari? Kamu dikejar siapa?" Rukya mulai memelankan suara, bahkan sesekali gelagapan. Mata pun membesar seperti D. Hingga ia sadar, D tidak berbohong.

"Tidak ada waktu!" D buru-buru berlari menuntun Rukya. Ia menuju timur.

"Mengapa tidak ke barat? Ke rumahmu atau Iswa barang kali!?"

"Tidak, jangan!" D menggeleng kesetanan. "Aku berlari ke sini karena mereka sudah berada di sana!"

"Ibumu!?"

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang