[18] Golden Ink

411 54 0
                                    

UNTUK APA Bronto Bragjow membantu kami?"

Rukya berjalan mengiringi D. Dia bertanya heran bercampur lega. Namun, D tak segera terpancing, sebab dia bukan orang bodoh. Ia mengerutkan dahi seraya memfokuskan langkah. Pemuda berkulit sawo matang itu sedang memanggul dua keranjang apel, di depan dan di belakang.

Matahari yang mulai menyorotkan sinar jingga membuncahkan kekalutan di dada Rukya. Tadi siang, gadis ceria itu tak bisa pulang ke rumah. Ia curiga—juga takut—dengan interferensi Bronto Bragjow ke ranah agama. Dia pun menumpang setengah hari di rumah D hingga sore menjelang.

"Boleh aku ikut ke musala yang kamu bicarakan?" tanya D polos. Kaki mulai menginjak paving kelabu Juleskandoi.

"Boleh, tapi ...." Rukya mengulum bibir," aku takut pria itu masih di sana."

Sebenarnya, sejak pagi, Rukya tak mampu menemani Tagor selama renovasi. Dia hanya ditemani Iswa dan Dai Ton yang terus ketakutan sejak kedatangan Bronto Bragjow. Beruntunglah pria yakuza itu tak cari masalah. Dia berlagak ramah, lalu memerintahkan para bawahan untuk membantu Tagor. Tidak banyak, hanya lima orang.

"Tidak apa-apa, aku ingin sekalian salat berjamaah di sana," tutur D menurunkan keranjang apel di depan rumah Nyonya Ton.

Rukya bergeming. Dia tak segera memberikan jawaban. Jelas, gadis yang biasa banyak bicara itu banyak bungkam sebab memikirkan banyak hal tentang Bronto Bragjow, termasuk rencana kotor yang nekat ia lakukan.

"Menurutku, Bronto Bragjow tidak memiliki niatan buruk untuk membunuh siapa pun," ucap D tiba-tiba mengagetkan Rukya. Dia mencoba memberikan sudut pandang yang lebih positif. "Kalau diingat-ingat, bisa saja, berkat Arizan—putri semata wayang yang kamu ajak bicara, pria itu berhasil dikelabui. Dan ya, aku tiba-tiba ingin berbicara dengannya. Meski ini terkesan melanggar perintah ibunda, tetapi aku—bahkan kita—berutang nyawa kepadanya."

Rukya tersenyum kecil. Ia menyorotkan tatapan lega setelah mendengar ucapan D. Tak ada yang salah dengan kemungkinan tersebut. Pemikiran buruk malah akan merugikan diri. Rukyat tak bisa lari begitu saja. Lagi pula, dia harus mengajar Al-Quran sore ini. Jadi, mau tidak mau, gadis pengajar itu harus kembali ke musala.

"Bisa saja kamu menggunakan otak cerdas, D," balas Rukya tertawa, lalu D mengikuti, "nanti kamu yang menjadi imam, ya."

D terbelalak. "Tidak! Aku belum pernah menjadi imam—"

"Tidak perlu takut," hibur Rukya memulai langkah menuju musala, "salat asar tidak perlu mengeraskan suara. Lagi pula, kamu itu laki-laki. Seharusnya, bisa menjadi imam. Makanya, kamu harus belajar sejak sekarang, dan nanti adalah waktu yang tepat."

D tersenyum kecut. "Baiklah, akan aku coba ...." Dia mengiakan ragu.

Keduanya pun berjalan seraya tertawa bersama. Setidaknya, tidak ada yang perlu ditakutkan sekarang. Namun, tidak bagi Rukya untuk dua minggu ke depan.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang