[19] MTQ

407 55 0
                                    

SHADAQALLAHUL 'adzhim."

Dai Ton membuat seisi ruangan terperangah. Bagaimana tidak, gadis berbahasa Mandarin itu menirukan Rukya begitu persis, malah lebih baik.

Sore itu, jam dinding masih menunjukkan pukul empat. Semua anak sudah mendapat giliran mengaji lebih cepat. Berkat bantuan Tagor dan D, murid-murid dapat diatur dengan amat mudah. Tinggallah Dai Ton seorang diri dan menjadi peserta terakhir yang mengaji bersama Rukya.

Karena dia tak bisa diajari menggunakan interaksi normal, Dai Ton mendapat metode belajar dengan cara menghafal. Singkatnya, Rukya akan membacakan ayat surat pendek, lalu Dai Ton menirukan. Persis sebagaimana Rasulullah Muhammad SAW diajari oleh malaikat Jibril.

Sebagai permulaan, Rukya membacakan surat Al-Ikhlas. Ia menyuarakan dengan lagam Bayati. Dalam membaca Al-Quran, pengajar bisa menggunakan salah satu tujuh variasi nada, dan Bayati adalah irama yang paling mudah untuk diajarkan bagi pemula. Nada yang tak terlalu tinggi maupun rendah dan cengkok yang minim, merupakan alasan utama Rukya memilih lagam tersebut.

Namun, baru taawuz dan basmalah dibacakan, semua orang terdiam ketika Dai Ton mengulang bacaan Rukya. Benarlah semua orang tak terkejut dengan kepiawaian Rukya membaca Al-Quran, sebab dia adalah guru mengaji. Namun, Dai Ton mengejutkan semua orang, bahkan Bronto Bragjow, Arizan, dan kelima bawahan melongok ke jendela, saking terkejut.

Dai Ton membaca Al-Quran dengan irama Bayati, namun jauh lebih baik. Dia tidak menggunakan muratal biasa, tetapi nada mujawad yang lebih dalam dan panjang. Makharijul huruf dan tajwid benar semua. Hanya dengan menyimak, Dai Ton mampu meniru hingga benar. Ajaibnya, dia melakukannya seperti sudah belajar mengaji lama.

Rukya teringat kepada sang ibunda tiba-tiba ketika mendengar lantunan mujawad Dai Ton. Dia tak asing dengan nada tersebut. Gadis yang sudah hampir dua bulan tinggal di Juleskandoi itu seolah-olah telah pulang ke rumah.

Bacaan Dai Ton persis seperti ibunda ketika membaca Al-Quran. Rukya berkaca-kaca mengingat sang ibunda, apalagi dia sempat membentak, bahkan mengolok-olok wanita yang telah melahirkannya.

Hingga Dai Ton tuntas membaca surat Al-Ikhlas, semua orang melongo saling menatap, termasuk Iswa. Tagor buru-buru menuju Dai Ton. Gadis berbusana merah dengan motif naga emas yang melintang di punggung, hanya sanggup menatap Tagor lekat-lekat.

"Nicóng nǎ lǐ xué lái bèi sòng dé zhè me piào liang? (Dari mana kamu belajar mengaji seindah itu?)"tanya Tagor penasaran.

"Wǒ zhǐ shì tīng Yī Sī Wǎ de mǔ qīn měi tiān zǎo shang hé wǎn shang tīngde gē  (Aku hanya mendengarkan lagu yang biasa disetel ibu Iswa tiap pagi dan sore)," jawab Dai Ton heran. Ia takut telah melakukan kesalahan. Namun, dia tak melihat ekspresi marah dari sang guru.

Setelah Dai Ton menjawab, Tagor beralih kepada Iswa. "Iswa, ibumu biasa menyetel apa lah di rumah ... tiap pagi dan sore?" tanyanya mengeluarkan logat khas.

"Ibuku?" Iswa menunjuk diri bingung, "ibu hanya menyetel pengajian yang ada membaca Al-Quran. Ustazah yang biasa didengarkan kalau tidak salah bernama ... ehm, Rika ... Rike ... Ah, Rikesuri Ruhaji!" tebaknya yakin, "pokoknya, nama beliau mirip dengan Kak Rukya."

Rukya sontak terbelalak. Pantas saja, irama Dai Ton bisa sama persis dengan sang ibunda. Secara tak sadar, gadis berwajah oriental itu sudah terbiasa mendengarkan mujawad Rikesuri Ruhaji. Apalagi Dai Ton sepertinya berbakat dalam bidang musik. Jadi, hanya dengan menyimak, dia mampu mengingat, bahkan menirukan nada yang didengar.

Rukya kagum, bahkan tak sanggup berhenti merenungi. Jika saja ada lomba MTQ untuk anak seusia Dai Ton, dia pasti mampu memenanginya—

"Assalamu'alaykum." Suara salam tiba-tiba menyeruak dari luar, seperti seorang ibu-ibu.

Apel Mana LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang