BANYAK hal telah terjadi setahun lalu.
Iswa mengalami sebuah kecelakaan, lebih tepatnya, mata kirinya. Semua orang sudah tahu, mengapa salah satu bola mata gadis berponi panjang sebelah itu terbuat dari benda sintetis. Karena Rukya akan menjadi guru Iswa, dia pun harus tahu.
Pada kala itu, langit gelap dan angin menderu seirama dengan guyuran badai. Gelegar teriakan beradu dentuman petir, dan itu berasal dari rumah kayu yang ada di timur Juleskandoi. Kalau Rukya sadar, bangunan yang ia tinggali selama ini adalah lokasi yang Nyonya Ton maksud.
"Dulu, rumah itu adalah tempat tinggal Iswa dan kedua orang tuanya," ujar Nyonya Ton.
Namun, semuanya berubah ketika sebuah insiden besar terjadi.
Ketika itu, hujan badai berlangsung di tengah hari. Gelap. Saking rapatnya mendung, tak ada sinar matahari yang menyeruak. Begitu pula dengan lampu-lampu yang menempel di pemukiman, padam tak bersisa. Badai itu memutus seluruh aliran listrik ke Juleskandoi.
Semua orang tak berani keluar rumah. Mereka berlindung, bahkan sibuk menguruk pasir untuk membendung genangan air yang kian meninggi. Keluarga Ton juga sedang melakukan yang sama.
Bapak Iswa sibuk menyekop pasir dari pekarangan rumah, lalu memasukkannya ke karung. Ia berlomba dengan air hujan untuk mencapai bibir pintu. Tak ada yang dia pedulikan, termasuk istri dan putrinya.
"Bu, bantu aku!" teriak bapak Iswa memanggil sang istri yang sedang hamil.
"Tunggu sebentar bisa tidak, sih!?" balas sang istri sama membentak. "Aku sedang menanak nasi, nih! Apalagi aku sedang hamil besar, malah kauajak untuk kerja kasar! Apa kau tak punya otak, hah!?"
Keduanya saling berteriak layaknya telah ditenggelamkan amarah. Seketika, seisi rumah, dari depan sampai belakang, diisi oleh bentakan.
Iswa yang sendirian di kamar tidur, hanya sanggup memeluk guling seraya menangis ketakutan. Ketika berada di tempat gelap yang diliputi badai saja sudah menakutkan, apalagi disertai bentakan kedua orang tua yang saling mencela.
"Ibu! Ibu!" teriak Iswa lirih meminta pertolongan sang ibu. Akan tetapi, tak berguna. Teriakannya tak terdengar, dan dia hanya sanggup meneruskan panggilan putus asa sampai tenggorokannya perih.
"Ibu—"
Dentuman tiba-tiba menggelegar ketika Iswa nekat terus memanggil sang ibu. Sontak getaran merambat ke seluruh desa, lalu menggoyang seluruh Juleskandoi.
Iswa menjerit sekencang-kencangnya. Ia mencari guling dan bantal, apa pun yang empuk, untuk melindungi diri.
Sementara sang ibu yang sedang menanak nasi di dapur menggunakan kompor gas yang baru ia beli dengan uang curian, sontak berlari ke depan. Ia tak mempedulikan harta benda, bahkan Iswa, darah dagingnya sendiri.
Iswa berteriak sampai tenggorokannya terluka, tapi kedua orang tuanya tak peduli. Malah, keduanya berseteru di teras rumah ketika saling bertemu.
"Mau ke mana kamu!?" bentak sang suami.
"Kabur lah, Bodoh!" balas sang istri mengibaskan tangan yang mencengkeram daster biru tua.
"Kembali, bantu aku!" cegah sang suami terus menarik lengan istrinya. "Kamu lupa, apa!? Kita kudu menyelamatkan perhiasan dan uang-uang yang aku dapat dari hasil jarahan besarku sebulan ini!?"
Sang istri hendak menolak, namun bujukan suaminya membuat ia membatalkan niat kabur. Ia berbalik mengikuti pria yang memaksa kembali masuk itu. Pasalnya, sang suami barusan merampuk toserba baru yang dibuka di pusat kota. Berkatnya, mereka mendapat banyak uang dan peralatan elektronik, termasuk kompor gas yang jarang dimiliki penduduk Juleskandoi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Apel Mana Lagi
ChickLit[DAFTAR PENDEK WATTYS 2023] Terancam dinikahkan, Rukya Ruhaji---anak pendakwah kondang yang manja dan sok pintar---harus mengubah desa yang berisi preman untuk mendapatkan kembali kehidupan mewah. *** Sebagai anak tunggal, Rukya tak perlu bekerja ke...