Biasanya, bangun tidur cuma ditemani guling dan boneka Baymax. Sekarang, setiap buka mata, ada yang ganteng di depan mata. Aku masih ngerasa aneh kalau berhadapan sedekat ini dengan Bang Jun. Jarak mutlak 50 sentimeter setiap kali kami bersama, sekarang sudah berkurang sembilan puluh persennya. Iya, cuma lima senti dan aku bisa melihat tahi lalat di atas bibirnya yang, sejak pertama kali, membuatku terpana. Belum lagi tahi lalat kecil dan samar yang ternyata ada di ujung mata kirinya. Ditambah lagi ... Wah, Bang Jun punya tahi lalat di belakang telinganya—kemarin aku lihat saat dia minta buat dibantu ngeringin rambut, aneh karena itu permintaan pertamanya di malam pertama dan setelah itu malah langsung ngorok.
Hah ... Aku mengembuskan napas panjang dan kuyakin udara itu seharusnya menggelitik wajah Bang Jun. Tapi, dia masih terpejam dengan kedua tangan menyatu di samping pipinya. Rasanya, ingin kucium saja, tapi aku masih malu.
Kalau diingat-ingat, wajah inilah yang selalu menemaniku di saat-saat terendahku dalam mengerjakan tesis. Sejak pertemuan pertama, setiap kali aku membuka pintu dan mendengar suara beratnya yang mengucapkan, "Selamat datang di rumah!" ada rasa senang yang sulit kugambarkan. Ditambah senyumnya yang tak pernah absen menyambutku walau kedua tangannya sibuk mengelap alat-alat pembuat kopi. Lalu, keluarlah beragam tanya yang sesuatu banget karena kalau orang lain yang bertanya tentu rasanya biasa saja, seperti,
"Gimana berkas-berkas buat daftar wisudanya?"
"Gimana perasaanmu hari ini? Biar kubuatin kopi yang pas sama suasana hatimu."
"Jadi ikut proyekan dosen atau mau cari kerja sendiri aja?"
"Ada cerita apa hari ini? Aku siap dengerin!"
Dan wajahnya ... Ya, ampun. Nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan dengan ketampanan luar biasa dan keramahan menyentuh dada di hadapan ini?
Namun, ada satu waktu yang menjadi titik balik hubungan kami. Saat rumah kopi Bang Jun mulai ramai karena berita mulut ke mulut dan unggahan media sosial yang tersebar dari pengunjung-pengunjungnya. Bukannya aku tidak senang usahanya ramai, tapi keramaian itu tak lain tak bukan karena cewek-cewek ganjen yang cari perhatian sama Bang Jun!
Astaga!
Aku yang biasanya menjadi satu-satunya fokus Bang Jun, mulai teralihkan dengan para cewek ganjen yang minta foto bareng. Alasannya, "Kamu ganteng seganteng idol Korea!" atau "Kamu kok mirip banget, sih, sama biasku?" atau "Masih single, kan?"
Sungguh, pertanyaan terakhir itu kudengar saat aku sedang menyeruput caramel macchiato spesial dari Bang Jun—atau, yah, hanya aku yang menganggapnya spesial—dan aku sukses tersedak sampai batuk-batuk selama kurang lebih 2 menit. Satu hal yang kusyukuri dari insiden itu adalah, aku mendapatkan perhatian Bang Jun karena ia langsung berlari dan menepuk-nepuk punggungku.
"Tangannya coba di angkat, tarik napas," ujarnya kala itu.
Aku mengerutkan dahi dan mengangkat alis. Apa hubungannya? Namun, karena aku sudah hampir kehabisan napas tersebab keselek itu enggak enak dan sakit banget, alhasil aku menurut saja. Kuangkat kedua lenganku setengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomanceKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...