Aku tidak mau bilang ini untung atau tidak, tapi untung saja kecelakaannya terjadi di depan rumah sakit. Bang Jun langsung ditolong oleh berbagai manusia dengan baju perawat dan snelli putih. Aku yang masih gemetar dan diam seribu bahasa pun ditemani oleh Mas Kevin selama operasi darurat yang harus didapatkan Bang Jun berjalan. Mas Chandra tadi sempat berpamitan karena ia ada janji dengan klien lain di tempat lain.
Selama menunggu di depan ruang UGD, berulang kali kuremas jemariku satu sama lain. Aku belum diperkenankan masuk ke ruang itu bahkan untuk melihat bagaimana Bang Jun ditangani. Kurasa, salah satu alasannya supaya aku tidak pingsan dan merepotkan tenaga medis. Jantungku serasa mau keluar karena debarannya masih tidak karuan dan begitu cepat. Kepalaku pun masih cukup nyut-nyutan. Melihat Bang Jun tertabrak mobil dan sempat terpental beberapa meter sepertinya sukses membuatku berada dalam mimpi buruk. Saat itu yang terpikir adalah keselamatan Bang Jun dan Tamtam yang harus diurus di rumah.
"Minum dulu." Kevin menyodorkan segelas teh hangat yang entah ia dapatkan dari mana.
"Kenapa lama banget," ujarku sambil menatap pintu ruang UGD. Kuharap Kevin tidak ge-er dan mengira aku mengomentari dirinya yang baru sekarang menawarkanku minum.
"Kamu beneran udah nikah, ya, Sha?"
Aku pura-pura tidak mendengar kalimat itu. Walaupun aku belum mengenalkan bahwa Bang Jun adalah suamiku, sepertinya Kevin sempat bertanya pada Mas Chandra atau entah pada siapa.
"Dia orangnya kayak gimana, Sha? Kamu nggak dijahatin, kan? Tadi, liat dia marah ke kamu dan tiba-tiba pergi kayaknya kalian lagi nggak baik-baik aja. Aku—"
"Terus kenapa? Urusan kamu?" Aku memotong kalimat Kevin dengan ketus dan mendengarnya mengembuskan napas panjang.
Lelaki berdasi itu tidak berbicara lagi, tetapi ia berdiri dan bersandar ke tembok di seberangku. Aku tidak mau ge-er, hanya saja, merasakan ada yang menatapku terus menerus membuatku risih. Aku berusaha tidak peduli dan untunglah semesta mendukung ketidakpedulianku pada Kevin.
Pintu ruang UGM terbuka dan keluarlah dokter didampingi dengan beberapa perawat. "Keluarga Saudara Juni?"
"Saya, Dok." Aku langsung berdiri dengan kaki yang masih gemetar. "Gimana suami saya?"
"Suami Mbak nggak apa-apa. Ada gegar otak ringan dan perlu menggunakan gips karena kakinya yang terbentur trotoar cedera. Tadi, sudah kami beri penanganan lebih lanjut."
"Kakinya patah, Dok? Parah? Perlu rawat inap?"
Dokter itu tersenyum. "Nggak parah, nanti kalau sudah sadar, bisa panggil kami untuk kami cek lagi. Kalau aman, bisa rawat jalan saja, Mbak."
Aku menghela napas panjang dan kembali terduduk di kursi depan ruang UGD. Kakiku sangat lemas dan akhirnya air mata yang tertahan kembali keluar. Aku terisak pelan dan bisa kurasakan ada lengan yang merangkulku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomanceKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...