11 || Asin, Asam, Pahit

158 15 8
                                    

Aku sudah membuat resolusi bahwa hari ini aku tidak akan tidur sampai Bang Jun pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku sudah membuat resolusi bahwa hari ini aku tidak akan tidur sampai Bang Jun pulang. Kami harus mulai bicara dan aku perlu tahu juga apa yang dipikirkannya selama ini. Kalau mengutip dari perkataan Psikolog Chandra, setiap perilaku pasti ada latar belakangnya dan tidak mungkin tiba-tiba terjadi. Cara Bang Jun memperlakukan Tamtam dan aku pun pasti ada latar belakang dan tujuan yang jelas sehingga membuatnya menggunakan metode berhubungan seperti yang dilakukannya selama ini.

Ah, tampaknya hal itu adalah pengetahuan umum dan seharusnya aku pun menyadari struktur kehidupan yang mirip seperti struktur laporan penelitian. Lucu, ya? Bisa-bisanya aku lupa pada common sense seperti itu. Aku jadi tertarik untuk mengobrol lebih banyak dengan Psikolog Chandra tentang masalah yang kuhadapi ini. Dengan atau tanpa Bang Jun, kurasa aku akan tetap ke sana.

Setidaknya, aku bisa mengurai pikiranku sedemikian rupa sehingga mampu berpikir lebih jernih di tengah dinginnya terpaan angin gonjang-ganjing rumah tangga yang baru seumur jagung ini.

Pukul satu dini hari.

Mataku sudah semakin berat, tetapi aku masih punya setengah gelas kopi hitam yang sukses membuat jantungku berpacu di jam istirahatnya. Aku masih belum merasakan adanya tanda-tanda kepulangan Bang Jun. Lagi-lagi, kuteguk kopi hitam yang terasa tersenyum jahat padaku. Bukan, aku bukan berhalusinasi. Aku hanya mencoba menghibur diri dan menguatkan kesadaran dengan berimajinasi.

Dua puluh menit berselang.

Kepalaku mulai terangguk-angguk karena kantuk. Seharusnya Bang Jun pulang di jam-jam segini jika ia bermaksud pulang saat aku sudah terlelap. Hah, lihat saja, aku tidak selemah itu karena keinginanku untuk mendengar suaranya lagi lebih kuat dari kantuk.

Beberapa saat kemudian, aku mendengar kenop pintu dibuka. Desahan napas panjang yang terdengar begitu berat terdengar dari arah pintu. Kukerjapkan mataku beberapa kali, menggerakkan mulutku untuk melenturkan otot-otot wajah, lalu mencoba memasang senyum terindah dan menyambut suamiku—hal yang sudah lama tak bisa kulakukan.

"Udah pulang, Bang?" sapaku halus pada lelaki berbaju flanel warna biru tua.

Jelas terlihat kekagetan di wajahnya. Ia mengerutkan dahi sambil mengerjapkan mata berulang kali, lalu mendesah panjang lagi, dan berjalan melewatiku.

"Bang Jun," panggilku dengan suara sehalus mungkin, "aku tau ini udah malem, tapi boleh kita bicara sebentar?"

Bang Jun sempat berhenti, tetapi kembali melangkah ke belakang setelah aku menyelesaikan kalimatku barusan.

"Juni Pebrian." Kini, kutegaskan suaraku dan si pemilik nama berhenti. Ia menolehkan sedikit wajahnya ke arahku.

"Aku capek," ujarnya dengan suara serak.

"Sebentar aja. Please?"

"Apa?" Dia tidak membalikkan badannya ke arahku.

"Nggak mau duduk dulu?" Aku mendekatinya dan menggandeng tangannya perlahan.

Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang