Gila.
Ngurusin izin nggak ke kampus aja aku harus mendengar omelan dosen ketua peneliti dengan segala penekanan terkait tanggung jawab, dedikasi, dan komitmen. Ya, maaf-maaf aja, aku pun punya komitmen untuk mengurus suamiku yang habis kecelakaan. Emangnya, beliau mau bayarin pengobatan Bang Jun kalo Bang Jun kenapa-kenapa dan nggak bisa ngurus diri di rumah? Kakinya itu, lho, masih perlu digips. Ya kali Bang Jun kubiarin masak sendiri, ngurusin Tamtam yang tingkahnya kayak reog kalo laper dan caper, apalagi mandi sendiri.
Bisa, sih. Aku percaya Bang Jun bisa ngurus dirinya sendiri. Tapi, sebagai istri yang baik hati dan berbakti meski sudah disakiti berulang kali, aku tetap mau menjadikan itu sebagai alasan untuk memperbaiki hubungan yang renggang beberapa waktu ini.
Meminta bantuan Mas Chandra untuk bicara dengan Bang Jun adalah keputusan yang tepat—menurutku saat ini—karena kurasa sesama lelaki akan lebih memahami satu sama lain. Sebagai pihak yang netral pun, Mas Chandra pasti bisa melihat dari kedua sisi. Aku tidak berharap dibela jika memang salahnya ada di aku. Hanya saja, Bang Jun juga seharusnya mau disalahkan kalau dia memang salah—salah karena nggak peduli sama istrinya sendiri.
Duh. Tiba-tiba sebel lagi.
Untungnya, rekan-rekan asisten penelitian membelaku saat mendapat omelan dan hampir tidak dapat izin dari dosen ketua penelitian. Alhasil, pengurusan izin tidak ke kampus dengan berjanji tetap mengerjakan data-data penelitian semampunya di rumah, lolos juga dapat izin dengan wajah sang dosen yang asem banget rasanya—mengingatkanku dengan wajah Squidward setiap kali dia melihat SpongeBob.
"Tenang, Sha. Urusin suami dulu aja. Nanti kita bantu kerjaannya. Toh, dikit lagi selesai ini tinggal finishing draft sama ajuin ulang ke jurnal internasional." Siska, rekan asisten penelitian satu ini, baik banget memang.
Waktu dua hari yang kuajukan ke Bang Jun untuk menginap di rumah sakit akhirnya hanya menjadi satu hari saja. Supaya Bang Jun nggak semakin ngambek padaku dan supaya Tamtam juga nggak ngereog terus karena cuma aku yang ada di rumah, lebih baik Bang Jun cepat pulang saja.
Aku membawakan jajanan favorit Bang Jun—tahu bulat yang digoreng dadakan. Sepertinya, terakhir kali aku lihat Bang Jun makan tahu bulat adalah saat kami survei tempat untuk pernikahan. Waktu itu dia bilang, "Proses kita kayak cemilan kesukaanku, ya."
"Apa?" tanyaku yang masih sibuk foto-foto suasana di luar calon gedung resepsi kami.
"Itu." Jarinya menunjuk ke sebuah arah yang tak lama baru kusadari kalau dari arah sana ada suara khas abang tahu bulat keliling.
Ya, aku tahu, seharusnya Bang Jun makan makanan sehat dulu untuk pemulihan. Tapi, sekali ini saja tidak apa-apa, kan? Supaya mood-nya Bang Jun bagus, keluar dari zona sensitif tingkat dewa, dan kami bisa pulang dengan tenang tanpa adu mulut dengan berbagai hal.
Saat membuka pintu kamar, aku cukup terkejut melihat ada sosok yang kukenal dengan snelli putih di samping ranjang Bang Jun. Saking tidak sabarnya untuk memastikan, aku langsung menyapa dengan suara keras dan membuat mereka terdiam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomanceKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...