Pilihanku untuk menjeda sejenak dari sisa-sisa pekerjaan di tim penelitian dosen memang pilihan yang tepat. Aku jadi bisa menghabiskan waktu untuk memantau dan benar-benar mengurusi Bang Jun. Kalau kupikir-pikir, kapan ya terakhir kali aku bisa seharian full di rumah dan membersamai suamiku berhari-hari?
Seringnya, aku sibuk ke kampus dan Bang Jun sibuk di rumah kopi. Kalaupun aku pulang lebih cepat dan mengerjakan pekerjaanku di rumah kopi, Bang Jun sibuk dengan pelanggannya yang semakin ramai. Sudah pernah kubilang untuk merekrut pegawai baru dan membangun sistem di rumah kopi. Namun, Bang Jun selalu menolak dengan alasan dia menyukai pekerjaannya saat ini dan tidak mau ada orang lain yang ikut campur.
Yah, mungkin itu caranya menunjukkan rasa tanggung jawab sebagai seorang suami. Dengan pelanggan yang semakin ramai, waktu berkualitasku dengan Bang Jun yang serasa di korbankan. Kami pulang malam, lelah, dan langsung tidur. Seringnya juga, Bang Jun bermain dengan Tamtam dan aku menjadi sosok ketiga di antara mereka.
Namun, selama masa pemulihan ini, aku semakin menyadari bahwa mungkin akunya saja yang terlalu cemburuan dengan hewan. Atau mungkin, akunya saja yang terlalu manja dan berharap mendapatkan kasih saya lebih dari Bang Jun. Bukannya dengan dia bekerja dan mampu menghidupi aku, dirinya, dan Tamtam itu sudah termasuk bentuk rasa sayangnya?
Ah, tapi, tetap saja. Aku merindukan banyak hal dari Bang Jun. Senyumnya, kata-kata hangatnya, kata-kata dukungannya, dan waktu yang kami habiskan untuk mengobrol bersama. Aku rindu. Apakah kami bisa seperti pasangan suami-istri yang sering menghabiskan waktu mengobrol sebelum tidur atau saling menanyakan kabar satu sama lain?
Pikiran-pikiran itu terus berputar di benakku sembari kubersihkan peralatan makan dan masak dari busa sabun cuci. Kadang aku tersenyum mengingat memori yang indah dan kurindukan, tetapi senyum itu hilang saat aku kembali disadarkan oleh realita. Realita saat ini ketika aku dan Bang Jun masih saja bertahan dalam hubungan yang renggang.
Andai saja Bang Jun mau mengikuti konseling pasangan itu, mungkin kami jadi ...
"Larasati."
Aku tersentak dan langsung membalikkan badan. Sekitar dua langkah kecil dari tempatku berdiri, Bang Jun berdiri sedikit membungkuk dengan satu kruk di ketiak kanan. "Abang butuh apa? Biar kuambilin," ujarku sambil berbalik sebentar untuk mencuci tangan.
"Apa kita jalanin konseling pasangan aja, ya?"
Sebentar.
Apa aku tidak salah dengar?
"Gimana, Bang? Konseling pasangan?"
Bang Jun menarik kursi di meja makan dan duduk di sana perlahan-lahan. Kakinya yang masih digips ia luruskan ke depan. "Sejak di rumah sakit sampai beberapa hari ini aku banyak mikir gara-gara di rumah aja. Waktu sibuk sama rumah kopi, nggak kepikiran hal-hal itu."
"Hal-hal apa maksudnya?" Aku ikut duduk di kursi meja makan sisi satunya.
Bang Jun menatapku selama beberapa saat. Kalau boleh kunilai, tatapan ini adalah tatapan saat Bang Jun ingin mengucapkan hal yang serius, tetapi ia sedang menimbang apakah akan diucapkan sekarang atau tidak. Seperti saat kami baru kenal dulu, Bang Jun menatapku seperti itu juga setiap kali ingin menyampaikan kalimat hiburan, penyemangat, atau semacamnya saat melihat aku kewalahan dengan pekerjaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomanceKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...