Kupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang.
Bukan avatar, bukan juga barisan para man...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Seperti Bang Jun yang mengatur napasnya berulang kali setelah menangis, kini aku sedang melakukan hal yang sama di hadapannya. Bisa-bisanya aku menangis hanya karena perkataan Kevin! Dasar Jailangkung! Aku, kan, jadi tidak enak dengan Bang Jun. Jangan-jangan, dia berpikir kalau aku tergoda mantan lagi. Kan, nggak banget!
Aku juga nggak tahu kenapa tiba-tiba air mataku banjir begitu saja. Dugaanku, sih, mungkin ada rasa bersalah, menyesal, dan entah apa yang membuatku ingin memaki-maki lelaki itu juga diriku sendiri. Siapa yang menyangka lelaki itu meninggalkanku karena dia memang butuh berobat? Ah, mungkin rasa bersalah itu hadir karena aku merasa tidak peka dan tidak bisa memahami kondisinya. Aku hanya sibuk berasumsi bahwa dia meninggalkanku karena aku tidak pantas untuknya.
Yah, apa pun itu, sekarang aku sudah bersama Bang Jun. Rasa bersalah di masa lalu biarlah jadi pelajaran untuk diriku. Setidaknya, aku jadi memahami bahwa orang yang pergi tanpa pamit memang pasti memiliki alasan penting, setidaknya untuk dirinya sendiri. Pun kalau tanpa pamit itu memang cara yang terbaik, mau bagaimana lagi?
Lagi pula, kalau bukan karena Kevin yang pergi tiba-tiba, mana mungkin aku jadi sama Abang terganteng sejagad kahyangan?
"Kayaknya, kamu keliatan nyesel banget, ya, karena udah nikah sama aku."
Suara Bang Jun yang tiba-tiba memenuhi hening ruangan setelah tangisku mereda sontak membuatku memicingkan mata. "Maksudnya, Mas?"
Oh, tolong. Semoga tidak ada salah paham lagi di sini.
"Ya, kamu nangisnya lebih parah dari aku tadi di ruang konsultasi."
Aku mendengkus. "Bang, sekali lagi aku kasih tahu, ya. Aku dan cowok tadi itu udah selesai. Aku istri Abang. Abang suami aku. Udah."
Sebenarnya aku mengucapkan kalimat itu dengan sedikit kesal. Namun, aku berusaha keras supaya masih terdengar halus dan tidak ada maksud menyinggung Bang Jun dari sisi mana pun. Tentu saja, kutambahkan senyum termanis semanis gula di akhir kalimat dan mencoba melirik suaminya dengan lirikan menggoda. "Gimana kalo kita fokus sama diri kita dulu aja?"
Benar, kan?
Lebih baik aku dan Bang Jun fokus untuk menyelesaikan apa-apa yang belum selesai di antara kami. Terlebih lagi, satu sesi konsultasi yang dilakukan cukup berhasil membuat Bang Jun sedikit menjadi lebih ramah padaku.
Aku menyeruput air putih hangat yang ada di hadapan. Tadi, saat aku menangis, Bang Jun mondar-mandir mengambilkan air putih dan tisu. Sebenarnya, aku kangen caramel macchiato buatannya. Hanya saja, minum kopi pasca menangis sepertinya bukan pilihan yang tepat.
"Jadi?" Aku kembali bersuara. Suaraku sudah lumayan normal setelah benar-benar selesai menangis. "Ada yang mau Bang Jun ceritakan lagi ke aku? I'm all ears."
"Kamu bener-bener nggak nyesel nikah sama aku? Mantanmu itu lebih kaya dan, yah, kalo dibilang ganteng juga rata-ratalah."
Astaga, aku ingin tertawa mendengar pertanyaan dan pernyataan itu. "Emang kalo dia lebih kaya kenapa?"