Aku tidak menyangka kalau selama ini Larasati kesulitan menghadapi sikapku. Jujur, awalnya memang aku menikahinya karena aku menemukan sosok yang kucari. Sosok yang penuh perhatian, periang, mandiri, ah ... Larasati sebenarnya segalanya buatku—setelah Tamtam. Hm, kupikir begitu.
Namun, seiring berjalannya waktu, usai perkenalan lebih dekat dan saat Larasati sah menjadi istriku, aku semakin tidak mau kehilangan dia. Namun, aku takut ketika aku memberikan perhatianku, kasih sayangku, dan dia memberikannya kembali dengan porsi yang sama atau lebih, aku tidak siap kehilangannya.
Tamtam menjadi pengalih semua itu. Setiap aku meminta Larasati untuk mengisi makanan Tamtam, aku ingin Larasati juga sadar dan ingat untuk makan. Setiap kali aku mengingatkan supaya ia tidak lupa mengurus Tamtam, sebenarnya aku juga berharap agar ia tidak lupa mengurus dirinya sendiri. Lihat saja, cantik-cantik begitu, kok, kantung matanya tebel banget. Aku tahu pekerjaannya sangat padat dan ia terus-terusan dikejar deadline. Tapi, aku tidak tega melihatnya seperti itu.
Setiap melihat Larasati sudah di rumah dengan wajah semringah, aku bisa membedakan wajahnya yang benar-benar sedang baik-baik saja dengan yang tidak. Kalau aku mencari Tamtam setelah dia menyambutku di depan pintu, artinya aku tahu ada yang tidak baik-baik saja dari dirinya. Tamtam menjadi sumber obrolanku untuk membuatnya menceritakan keluhan-keluhannya padaku. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk tidak peduli padanya.
"Kalau boleh saya bilang, semua yang Mas Juni ceritakan ini sepertinya terbangun dari asumsi-asumsi pribadi yang menganggap Mbak Laras bisa menangkap perhatian itu, ya?"
Sejujurnya, aku sedikit tersentak saat psikolog bernama Chandra ini mengucapkan kalimat itu. Tampaknya, memang selama ini aku hanya membangun asumsi dan harapan bahwa Larasati akan mengetahui maksud dibalik semua perilakuku.
"Tapi, bukannya setiap orang punya asumsi yang berbeda? Dan mungkin Mbak Laras tidak bisa menangkap perhatian Mas Juni karena ia pun bingung dengan sikap suaminya. Seolah-olah suaminya hanya peduli dengan kucing, padahal itu salah satu cara Mas Juni mencoba membangun hubungan yang lebih erat dengan Mbak Laras."
"Saya terlalu takut jadi bergantung pada kasih sayangnya Larasati. Kalau tiba-tiba saya kehilangan lagi setelah mendapatkan apa yang selama ini saya butuhkan ... Ah, entah. Saya nggak tahu bisa bertahan atau enggak." Aku menggelengkan kepalaku yang masih sedikit nyut-nyutan. Ternyata, kecelakaan itu nggak enak, ya.
"Memangnya, Mas Juni pernah kehilangan apa?"
"Ibu saya."
Aku tidak tahu mengapa obrolan ini terasa sangat mengalir seperti aku sudah kenal lama dengan Psikolog Chandra. Memang, beberapa hari ini aku banyak memikirkan tentang keluarga dan hubunganku dengan Larasati. Terlebih, setelah dia benar-benar pergi dari rumah dan tak bisa kutemukan di mana-mana.
Saat aku ingat kalau Larasati pernah bilang soal psikolog, aku pun mencoba mendatangi layanan psikolog terdekat dan itu ada di rumah sakit ini. Bodohnya aku, ketakutan akan kehilangan Larasati sepertinya sudah menguasai sehingga saat lihat dia dengan dua laki-laki tampan—yang kurasa lebih tampan dariku yang sudah super tampan idaman wanita ini—aku lepas kendali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomantizmKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...