Mungkin Tuhan tahu kalau Dia terlalu lama membiarkanku sendiri dan sibuk dengan asumsi-asumsi tentang pertanyaan, kenapa Bang Jun masuk duluan dan nggak sama aku sekalian, aku akan terjebak semakin dalam dan tidak lagi mempercayai proses konseling yang akan kami jalani. Kurang lebih setelah tiga puluh menit—yang terasa seperti tiga jam bagiku—ruang konsultasi terbuka dan Mas Chandra keluar dari sana. Kupikir, ia hanya akan melongokkan kepala dan memanggilku masuk. Namun, lelaki berbaju garis-garis itu justru keluar, menutup pintu, dan berjalan ke arahku.
"Mbak Laras, boleh saya bicara sebentar di sini?"
Pikiranku ingin menolak karena perasaanku semakin tidak enak. "Kenapa di sini, ya? Nggak di dalem sekalian aja, Mas?"
"Di dalam, Mas Juni sedang mempersiapkan diri."
"Untuk?"
"Untuk proses kita setelah ini."
Ah, sepertinya memang aku tidak bisa menolak psikolog ini untuk tidak berbicara di luar ruangan. Walaupun biro itu sedang sepi—atau mungkin memang belum ada klien lagi selain aku dan Bang Jun yang dijadwalkan hari ini—rasa khawatir tidak bisa hilang dari dalam dadaku. Bukan karena aku takut permasalahanku diketahui orang lain. Toh, tidak ada siapa-siapa di sana selain pihak biro konsultasi. Bukan juga karena aku takut dinilai buruk atau semacamnya.
Tapi, entah mengapa ada rasa takut yang sulit kuungkapkan saat mendengar permintaan Mas Chandra untuk berbicara di luar ruangan dan tidak bersama Bang Jun. Mungkin, aku terlalu cepat mengambil kesimpulan. Mungkin juga, aku yang terlalu sensitif karena sempat menduga ada ketidakadilan perlakuan karena Mas Chandra lebih memilih berbicara dengan Bang Jun dulu tanpa memberikan briefing apa pun padaku. Mungkin...
"Sepertinya, Mbak Laras ragu, ya, saat saya meminta bicara di sini."
Benar-benar, tampaknya Mas Chandra bisa menembus ke dalam pikiranku hanya dengan menatap raut wajahku dan membiarkan keheningan hadir bersama kami beberapa saat. Sebenarnya, aku sangat berterima kasih karena Mas Chandra tidak memaksaku untuk segera menjawab dan membiarkan aku berpikir dalam diam. Aku jadi merasa nggak enak.
"Apa karena Mbak Laras tidak langsung diajak berkonsultasi bersama di dalam?"
"Ehm, iya. Ehm, secara logika saya bisa paham. Mungkin karena saya sudah beberapa kali konsultasi dengan Mas Chandra, Mas Chandra jadi butuh sesi lebih lanjut dulu dengan Bang Jun. Tapi ... Ya, nggak tau, ya, Mas. Kayaknya saya kok ... Ehm, begitu." Aku mengerutkan dahi dan mengangkat kedua bahu. Benar-benar sulit menjelaskannya.
"Oh, ya, itu yang mau saya jelaskan sekarang. Atau kita masuk ke ruang sebelah situ dulu? Mungkin, Mbak Laras nggak nyaman karena ini tidak di ruangan, ya?"
"Oh, enggak, enggak," ujarku spontan sambil melambaikan tangan ke depan. "Bukan karena itu, kok, Mas. Ya udah, nggak apa-apa. Di sini aja."
Psikolog itu memandangku beberapa saat, mungkin ingin melihat seberapa ikhlasnya aku menjawab tawarannya tadi. Namun, akhirnya ia pun duduk di sofa sebelahku setelah melihat aku tersenyum dan meyakinkan dengan anggukkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomansKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...