Sehari dua hari, aku masih bisa memaklumi kalau Bang Jun memang benar-benar menyayangi Tamtam. Bahkan aku pun mau belajar sayang sama Tamtam karena, ya, dia kucing kesayangan Bang Jun. Bukannya gimana-gimana, tapi, waktu dulu kami pendekatan, Bang Jun pernah menceritakan alasan dia mengadopsi Tamtam.
"Dia sering banget lewat depan rumah ini waktu aku lagi beres-beres buat buka rumah kopi. Sering duduk di depan dan kalo aku lagi capek, aku diem di depan sama dia. Ya, nggak mungkin dong aku biarin tanpa makanan. Jadi, sering kukasih makan juga setiap dia dateng ke sini."
Waktu itu, aku hanya mendengarkan cerita Bang Jun sambil menyeruput caramel macchiato. Entah mengapa, hari itu kopinya terasa lebih manis, semanis senyum Bang Jun saat menceritakan soal pertemuan pertamanya dengan Tamtam.
"Ada satu waktu dia nggak ke sini. Lamaaa banget." Bang Jun menekankan kalimatnya dengan intonasi yang panjang, seolah memang selama itu Tamtam nggak datang ke (calon) rumah kopinya. "Eh, hampir semingguan nggak dateng, pas dateng dia berdarah banyak banget."
Ya, ampun. Cuma seminggu paling pergi buat kawin.
"Aku shock banget. Langsung kubawa ke dokter hewan karena aku nggak paham ngobatinnya gimana."
"Terus, kata dokter?" sahutku supaya tidak dikira tidak mendengarkan ceritanya.
"Kemungkinan tabrak lari. Ada retak di kakinya, untung nggak sampai patah. Duh, itu aku nggak pengen ngurusin rumah kopi beberapa hari demi ngerawat dia."
Aku mengangguk-angguk, masih berusaha untuk tertarik karena sebenarnya aku geli dengan makhluk berbulu semacam kucing atau sejenisnya. Namun, kuacungkan jempol untuk effort Bang Jun yang rela mengeluarkan uang untuk mengobati Tamtam. Dari cerita itu, aku sungguh yakin lelaki ganteng di depanku ini punya hati yang lembut banget. Sama hewan aja sayang, apalagi sama keluarga—dan istrinya kelak.
Walaupun aku geli dengan perhewanan, aku nggak bisa nggak tertarik sama Bang Jun sejak dia cerita tentang pertemuannya dengan Tamtam, si kucing betina dengan warna dominan hitam. Kalau ditelusuri, selain warna putih yang seperti kaos kaki di empat kakinya, Tamtam juga punya sedikit warna cokelat di bagian perut. Cantik, sih, tapi mukanya galak banget. Belum lagi kalau dia lagi sensi, kata Bang Jun, suka cakar-cakar. Bang Jun sering kena cakarannya. Anehnya, bukannya sebel karena dicakar, Bang Jun malah senang.
Aku yang kena cakar sekali di hari pertama ketemu Tamtam aja rasanya ... Duh, nggak mau ngulang lagi. Ya, tapi aku tahu, sih, waktu aku bilang mau jadi ibunya Tamtam, artinya risiko kena cakar pasti ada. Dari situ, aku bertekad untuk bisa lebih berteman dengan hewan berbulu, khususnya Tamtam. Biar Bang Jun juga seneng dan makin sayang sama aku karena aku juga sayang sama kucingnya.
Itu pikiranku dulu. Siapa sangka kalau aku mulai menyesali pemikiran itu?
"Laras, kalo mangkuk makannya Tamtam kosong, langsung diisi lagi. Kayaknya, aku udah sering bilang ke kamu, deh," kata Bang Jun setelah aku lihat dia keluar dari rumah karena pamit mau berdinas di rumah kopinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
Roman d'amourKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...