06 || Kupikir Mereka Baik-Baik Saja

186 22 9
                                    

Sudah kuduga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah kuduga.

Bang Jun memintaku untuk segera ikut pulang tanpa menyelesaikan laporan yang tinggal sedikit lagi itu karena aku mau dijadikan babu untuk Tamtam. Pasalnya, sampai rumah, Bang Jun langsung menginstruksikan berbagai macam hal padaku.

"Laras, pupnya Tamtam dibersihin, terus kotak pasirnya taruh di belakang, pokoknya jangan sampai keliatan dari ruang makan, apalagi ruang tamu."

"Laras, aku udah rendem bantal tidurnya Tamtam, habis ini mau aku bilas. Kamu tolong bersihin kursi-kursi sama tempat Tamtam biasa main, ya. Pakai vaccum cleaner aja, biar cepet."

"Laras, kamu nggak usah masak. Kita pesen delivery online aja. Kamu tau, kan, makanan kesukaan Ibu? Habis pesen, kamu langsung mandi, ya. Gantian."

Rasanya, ingin kugoda saja suamiku satu ini. Kalimat gamau mandi bareng aja? sudah sampai di kerongkonganku, tetapi tertahan karena semakin mendekati magrib, semakin jelas kecemasan tergambar di wajah suamiku. Aku ingin protes pun jadi tidak sempat—lebih tepatnya tidak tega. Terlebih lagi, selama kami bersih-bersih, fokus Bang Jun hanya tertuju padaku. Si kucing hitam itu langsung dibawa Bang Jun ke kandangnya dan dibiarkan diam di sana.

Sebenarnya, aku tahu kalau ibu mertua tidak suka Bang Jun memelihara kucing. Dulu waktu masih awal-awal kami pendekatan, Bang Jun sempat cerita.

"Kamu nggak suka banget, ya, sama kucing?" tanya Bang Jun random waktu itu saat aku sedang asyik mengaduk caramel macchiato yang baru disajikan.

Aku menyeruput minumanku dan memutar bola mata ke atas. "Bukan nggak suka. Apa ya? Geli? Bulu-bulunya itu kalau masuk hidup katanya bisa bikin alergi, sesak napas, apalagi kalo bawa penyakit. Jadi, takut aja. Emm, emangnya kenapa?" Kembali kutatap wajah ganteng di depanku ini.

Bang Jun mengangguk pelan, sepertinya mencoba memahami pendapatku. Ia menarik napas panjang dengan bibir yang terkatup rapat hingga muncul beberapa garis lekukan di sekitar ujung bibirnya. "Mungkin, itu yang ditakutin juga sama ibuku. Tapi, Tamtam itu udah kuvaksin, vitamin juga aman. Rutin kumandiin, apalagi kubawa ke dokter hewan buat kontrol rutin."

"Ibunya Abang nggak suka juga sama kucing?"

Bang Jun mengangguk. "Kami sempet berantem gara-gara beliau tau aku pelihara kucing. Alasannya, selain yang kamu sebutin tadi, juga karena mikirin kondisi keuanganku. Belum lagi, aku masih merintis usaha dan udah declare kalo mau mencoba hidup dengan uang sendiri."

"Nggak salah, sih, concern-nya ibu Abang. Terus, kok, bisa damai lagi?" Setelah melontarkan pertanyaan itu, entah mengapa aku merasa bersalah. Kesannya, aku nggak mau mereka berdamai perkara kucing. Entahlah.

Tapi, untungnya Bang Jun tidak menangkap pertanyaanku sebagai hal yang negatif karena ia tersenyum lagi. Sumpah, dia lebih banyak senyum waktu masa kami pendekatan. Setelah menikah, sepertinya bisa kuhitung dengan sepuluh jari tangan dan lima jari kaki.

Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang