10 || Refleksi

157 16 7
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, segala hal yang dikatakan oleh Psikolog Chandra tadi terus terngiang di telinga dan terus terpikir dalam otakku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sepanjang perjalanan pulang, segala hal yang dikatakan oleh Psikolog Chandra tadi terus terngiang di telinga dan terus terpikir dalam otakku. Bagaimana kalimat demi kalimatnya bisa membuatku menangis dan selama tiga puluh hingga empat puluh lima menit tadi lebih banyak terisi oleh diriku yang menangis tanpa henti. Belum lagi tawarannya di akhir sesi yang membuatku tidak yakin untuk bisa kembali ke sana lagi.

"Saya rasa, tidak hanya Mbak Laras yang perlu berproses dalam konsultasi ini. Apakah memungkinkan jika suami Mbak ikut serta?"

"Kenapa nggak suami saya aja? Saya, kan, nggak kenapa-napa. Ini saya juga nggak tau kenapa malah nangis," ujarku saat itu, lalu menatap lelaki di hadapanku ini.

Psikolog Chandra malah tersenyum. Sungguh aku tak mengerti arti dari senyumnya, tetapi entah mengapa muncul rasa rindu dalam dadaku. Rindu pada senyum Bang Junpei.

"Apa yang saya lakukan tadi itu sebenarnya stimulus yang netral, Mbak. Kalau Mbak Laras benar tidak apa-apa, saya rasa tidak mungkin tiba-tiba menangis hanya karena beberapa kalimat yang saya ucapkan. Bukankah begitu?"

Aku ingin menyanggah, tetapi tak ada yang bisa disanggah karena semua perkataannya sungguh benar. "Mas, jangan formal-formal banget bahasanya. Saya geli."

Dasar nggak tahu malu kamu, Sha! Aku memaki diriku sendiri. Rasanya agak memalukan tiba-tiba membahas cara bicara psikolog itu. Apa, sih, yang sedang kupikirkan?

"Ahaha, saya minta maaf kalau Mbak Laras kurang nyaman dengan cara bicara saya. Jadi, apa sekiranya bisa berproses dengan suami? Barang kali kita bisa merencanakan konseling pasangan jika memang dibutuhkan."

Aku berpikir cukup lama—dan Mas Chandra luar biasa sabar menungguku—sebelum akhirnya mengatakan, "Nanti coba saya bicarakan, walau sebenernya saya nggak yakin bisa ngajak suami saya ke sini."

Memikirkan segala macam cara untuk mengajak Bang Jun mencoba untuk konsultasi ke psikolog menjadi kegiatan yang membuatku melamun agak lama. Sampai-sampai, abang ojek online yang menjemputku harus memanggilku beberapa kali baru aku sadar dan menoleh. Begitu pun sepanjang perjalanan hingga sampai ke rumah kopi.

"Bang, caramel—"

Ceritanya, aku ingin mencoba mengulang kondisi awal mula aku dan Bang Jun bertemu. Masuk rumah kopi dengan senyum, ambil posisi dengan duduk di kursi meja bar dekat barista, dan menunggu kehangatan datang dari tatapan serta senyuman Bang Jun. Tapi, bukannya situasi jadi sehangat musim semi dengan bunga-bunga bermekaran, situasi ini justru seperti keripik melempem. Garing enggak, tapi cerna pun sulit. Belum selesai aku mengucapkan pesanan—seperti yang dulu pernah kulakukan—Bang Jun hanya menyodorkan air mineral tanpa melirikku dan kembali sibuk di pantri belakang.

Mungkin aku sudah benar-benar transparan di hadapannya.

Baiklah, aku coba mundur untuk nantinya kembali maju. Katanya, tarik ulur pun diperlukan dalam hubungan rumah tangga agar dua pasangan sama-sama memahami pentingnya peran dari kedua belah pihak di kehidupan masing-masing. Namun, sepertinya, Bang Jun malah memahami bahwa peranku bukanlah siapa-siapa dan bukanlah sesuatu yang penting dalam hidupnya. Buktinya, meski sudah diam dan mencoba sibuk dengan pekerjaanku, Bang Jun pun sibuk dengan pelanggan-pelanggan yang datang tanpa menoleh sedikit pun ke aku.

Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang