Tidak. Aku mencari psikolog bukan karena aku gila.
Namun, aku butuh pandangan lain yang mungkin lebih memahami kondisiku dan suamiku. Sejujurnya, aku benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini. Suamiku tidak lagi membuka rumah kopinya meski sudah pulang sejak dua hari lalu. Dia juga tidak mau berbicara padaku dan hanya menghabiskan waktu bersama Tamtam. Makanan yang kusediakan ia makan setelah aku masuk ke kamar dan mengerjakan hal-hal yang perlu kuselesaikan. Aku seperti tidak ada di sana.
Aku tahu, mungkin Bang Jun sangat mengkhawatirkan Tamtam. Terlebih lagi, ternyata salah satu kaki depan kucing itu terluka. Rasanya, sama seperti saat Bang Jun pertama kali memutuskan untuk merawat Tamtam. Aku tidak tahu apa yang berseliweran di pikiran Bang Jun. Apakah istrinya tidak sepenting itu untuk diperhatikan?
Aku merasa ada obsesi yang aneh dalam diri Bang Jun kepada kucing. Pikiran bahwa suamiku itu sedikit tidak waras mulai memenuhi imajinasi liarku. Namun, tentu saja tidak kubiarkan liarnya imajinasi menguasai pikiranku yang terdidik ini. Aku pun menjelajahi internet dan mencari-cari informasi berkaitan dengan obsesi terhadap hewan peliharaan.
Anehnya, justru banyak penelitian yang mengatakan bahwa merawat hewan peliharaan seperti kucing atau anjing bisa meningkatkan kesejahteraan hidup dan kesehatan mental. Lantas, apa yang terjadi pada Bang Jun?
Sebentar.
Apa ini?
Aku menemukan sebuah jurnal yang menjelaskan tentang adanya hubungan antara rasa keterikatan pada hewan peliharaan dengan ciri-ciri gangguan psikologis seperti post-traumatic stress disorder, depresi, dan simtom kejenuhan berlebihan. Membaca jurnal ini membuat keinginanku semakin tinggi untuk mengonfirmasinya pada orang yang memang mengerti.
Siapa lagi kalau bukan psikolog?
Maka, di sinilah aku berdiri. Di depan rumah sakit daerah yang memiliki layanan psikologi—berbayar tentunya, karena kalau pakai BPJS harus dapat rujukan dulu. Sambil melangkah masuk, aku berulang kali menyugesti diri bahwa bukan aku yang butuh pertolongan psikologis. Aku hanyalah perantara untuk membantu suamiku yang tampaknya mulai menjauh dari realita dan peran hidup yang sesungguhnya.
"Permisi, Mas. Mau ke poli psikologi bisa?" tanyaku pada petugas administrasi. Untungnya tidak pakai asuransi, ya, seperti ini. Tidak perlu masuk ke antrean yang luar biasa panjang dan mendapat pelayanan paling awal. Tampaknya, uang memang dibutuhkan untuk segala hal, ya. Termasuk percepatan layanan kesehatan di rumah sakit seperti ini.
"Bisa, Mbak. Sudah pernah ke sini sebelumnya?"
Percakapan seputar pendaftaran dan hal-hal berbau administrasi lainnya pun berlangsung selama kurang lebih lima menit hingga aku diminta untuk menunggu di depan poli psikologi. Kata Mas Administrasinya, nanti aku diminta konfirmasi ke perawat jaga poli karena sebelumku ada pasien yang masuk. Biasanya, satu pasien butuh 30-60 menit sekali sesi dengan psikolog.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔
RomantizmKupikir, menikah dengan abang yang berhasil membuat jantungku berdebar-debar dan perut penuh kupu-kupu akan semanis caramel macchiato yang menyatukan kami. Namun, semua berubah setelah negara api menyerang. Bukan avatar, bukan juga barisan para man...