05 || Pikiran Aneh

200 18 9
                                    

Semalaman aku berpikir, apakah benar komodo lidahnya berwarna biru?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Semalaman aku berpikir, apakah benar komodo lidahnya berwarna biru?

Oke, ini sangat absurd dan random karena aku berusaha mengalihkan pikiranku dari hal-hal aneh yang menyerang sejak aku tahu bahwa Bang Jun hanya menganggapku sebagai "ibunya Tamtam", bukan istrinya Bang Jun yang butuh perhatian, kasih sayang, dan tentu saja uang jajan supaya ada camilan menemaniku mengerjakan laporan penelitian dosen. Lagian, kalau Bang Jun memberi uang jajan padaku, toh akan kembali ke dirinya juga. Kan, aku seringnya nongkrong di rumah kopi.

Sebenarnya, beberapa hari lalu sebelum pertengkaran—yang entah apakah bisa disebut pertengkaran atau sekadar adu argumen—terjadi, aku memang lebih banyak menghabiskan waktu di kantin kampus. Bukannya tidak mau melariskan usaha suami, hanya saja, aku butuh berdiskusi dengan sesama asisten penelitian dan mereka nggak mau kuajak nongkrong di rumah kopinya Bang Jun. Katanya, mager harus ngeluarin motor dari parkiran, parkir lagi, pergi lagi.

"Lebih efektif kita selesein di kampus. Jadi, pas pulang, ya, langsung ke rumah masing-masing," ujar salah satu asisten yang didukung dengan anggukan asisten lain.

Heran, apa mereka nggak bosan dengan pemandangan kampus?

Hari ini, aku sudah bisa mlipir untuk mengerjakan laporan penelitian sendiri. Ke mana lagi kalau bukan ke rumah kopi. Namun, aku agak menyesali keputusanku ke sini.

Melihat Bang Jun sangat ramah pada pelanggannya membuat debar jantungku naik turun dan kerongkonganku seperti dicekik. Ingin berteriak dan mengklaim bahwa barista ganteng itu adalah suamiku dan jangan ada yang genit padanya, aku tidak bisa. Tentu saja karena aku juga tidak mau Bang Jun semakin kesal padaku karena membuatnya kehilangan pelanggan.

Tiba-tiba mata kami bertemu.

Tunggu. Aku tidak salah lihat, kan?

Bang Jun tersenyum ke arahku sebelum berbalik ke pantri belakang. Sudah lama aku tidak mendapatkan senyumnya, tentu saja dadaku berdebar cepat. Rasanya ingin kubalas senyum ganteng itu dengan senyum terbaikku sampai aku menyadari bahwa ternyata bukan diriku yang menjadi tujuan dari senyum itu.

Seorang laki-laki berjalan melewatiku dan menuju ke meja barista. Kulihat, Bang Jun juga keluar dari pantri belakang membawa ... Astaga. Tamtam!

Pikiran aneh yang berusaha kualihkan dengan lidah biru komodo kembali hadir melihat sosok berbulu itu. Buru-buru aku menatap layar laptopku lagi dan mencoba melanjutkan menulis isi laporan bagian pembahasan penelitian.

"Ya ampu, lucu banget ini kucing!"

Aku mendongak mendengar puja-puji untuk si bulu hitam. Ternyata, si lelaki yang tadi mendapatkan senyum Bang Jun-lah yang berbicara dengan suara menggema. Apa lucunya dari muka galak si tukang cakar dan menghancur hubungan orang? Hah?

"Iya, kan? Kayaknya gue nggak bisa hidup tanpa dia. Nurut banget, loh, walaupun mukanya galak gini." Bang Jun menanggapi dengan wajah yang semringah. Kalau bisa dikasih efek, efek bling-bling mungkin bisa menggambarkan ekspresi muka suamiku itu. Ekspresi yang cuma sekali kudapatkan saat ia menerima pernyataanku untuk menjadi ibunya Tamtam.

Pernikahanku Tak Semanis Caramel Macchiato Buatan Abang ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang