"Ma, nanti Juan minta uangnya yang cash buat ngeprint tugas," ucap Juan ketika melihat isi dompet yang hanya di isi oleh empat buah kartu saja, SIM, ATM, KTP dan kartu mahasiswa.
Sora yang baru saja berganti bawahan pakaiannya dengan celana itu dengan senang hati mengangguk. Dia meraih pundak Juan untuk dijadikan tumpuan guna menaiki motor besar ini.
"Kamu beli motor matic aja deh, Ju. Biar gampang kalo Mama mau naik, kamu nggak kasihan sama punggung Mama apa?" gerutunya setelah berhasil menempatkan diri diatas sepeda motor Juan.
"Kenapa nggak Mama aja yang beli mobil lagi? Kelamaan nunggu perbaikan dari bengkel, Mama juga nggak usah repot-repot numpang sama Juan," balas Juan, kemudian merasa kepala dibalik helmnya ditimpuk dengan keras dari belakang.
"Suka banget balikin omongan orang tua, sopan kaya gitu?" Sora kembali mengomel, bukannya meminta maaf, Juan justru dengan kurang ajar menancap gas tanpa aba-aba.
"KURANG AJAR KAMU, JUAN!"
Mungkin sepanjang jalan Juan hanya akan meringis dan beberapa kali meminta maaf pada sang Mama. Dia tahu kalau sudah kurang ajar, tapi sungguh, Juan itu paling tidak tahan kalau sudah diomeli begini oleh Mamanya.
Jarak dari rumah ke pabrik cukup Juan tempuh kurang dari tiga puluh menit jika menggunakan motor, jalanan pagi belum terlalu padat meski sudah ramai.
Motor dengan dominasi warna putih itu berhenti dipinggir trotoar guna menurunkan sang Mama saat nama Wchocolate Factory terpampang jelas di seberang sana.
Juan kembali meringis merasakan pinggangnya dicubit, helmnya juga kembali dipukul oleh Sora, sosok Ibu kelihatan kesal sekali."Kalau bukan satu-satunya anak Mama, kamu itu udah Mama giling di mesin!" Sora mendengus, kesal sekaligus pusing dengan cara bermotor Juan yang cukup sembrono. Mendapati Juan mencium punggung tangannya, Sora memberikan beberapa lembar uang pada sang putra. "Udah ya, hati-hati di jalan. Masih pagi nggak usah kebut-kebutan," nasehatnya kemudian mendapat anggukan dan ucapan terimakasih oleh Juan.
Ketika melihat Mamanya mulai berjalan memasuki pabrik, Juan mendapati ponselnya berdering. Dia melepas helm dengan senyum kecil, nama Wilma terukir jelas pada layar ponselnya lengkap dengan emoticon hati berwarna merah. Cukup jelas menandakan siapa nama pujaan hati Juan saat ini.
"Kamu udah berangkat belum? Kalo belum jemput aku di rumah ya?" Begitu suara Wilma mengalun lembut dari seberang sana.
Juan mengangguk sekali, seakan Wilma sedang berdada di depan matanya. "Iya, dijemput sekarang," ucapnya dengan senang hati.
Baru saja panggilan dimatikan, Juan ingin bergegas menjemput, tak ingin Wilma menunggu lama sekalipun masih cukup pagi untuk berangkat ke kampus. Nyaris helm itu menyentuh kulit kepala, Juan merasa punggungnya kembali dihadiahi pukulan keras yang nyatanya hanya terasa kecil Juan rasakan.
"Mas, ojek dong. Anterin Caca ke SMA Neosantara ya, udah telat nih." Seorang gadis berseragam SMA dengan rambut dikucir rendah serta bandana bermotif polkadot, dialah pelakunya.
Juan meletakkan helmnya kembali, memastikan apakah yang dia dengar dari bibir gadis itu tidak salah.
"Hah?" Juan menatap gadis yang menyebut dirinya dengan nama, Caca?
"Buruan! Nanti Caca tambah lima ribu deh ongkosnya." Suara Caca terdengar mendesak, tak kalah mendesak dengan situasinya kini dimana hampir terlambat masuk sekolah.
"Lo gila!?" sarkas Juan, tidak terima bila penampilan yang super keren begini dikatai tukang ojek.
Dibentak begitu membuat Caca tersentak. "Caca masih waras kok. Mas nggak boleh ya ngatain orang kaya gitu, nggak sopan. Nggak ramah, nanti Caca kasih bintang satu di aplikasi tahu rasa." Mata Caca menatap Juan sengit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...