10. I touch you

177 35 0
                                    

Caca baru saja menutup buku tugasnya, dan kini yang ia lakukan tinggallah berbaring nyaman diatas tempat tidur sambil memandangi ponselnya. Dia rindu sekali dengan benda pipih yang sempat Vian sita ini, dan datanglah saat dimana Caca memulai kebiasaannya.

Apalagi jika bukan menonton acara review makanan dan berujung pada keracunan. Sebenarnya sudah sejak kemarin Caca menginginkan sebuah makanan, katanya sih namanya bakso beranak. Tapi Caca tahan, karena dia tidak mungkin merepotkan orang untuk menemaninya mencari. Ingat, dia sedang tidak tinggal bersama Vian, dan Juan bukanlah pria yang Caca yakini bisa membantunya.

Dan malam ini, Caca tiba-tiba membulatkan tekad. Dia bangun dari tempat tidurnya, lantas memakai sendalnya dengan tergesa-gesa.

"Gue bakal cari bakso itu sendirian," ucap Caca, matanya memejam singkat tanda meyakinkan. "Kalau gue terus-terusan bergantung sama orang, gue nggak bakal bisa berpikir lebih dewasa."

Misi mencari bakso beranak, Caca mulai malam ini dengan modal nekat. Bagaimana tidak, dia bahkan mengendap-endap keluar rumah tanpa memberitahu siapapun, termasuk Juan. Caca tak sadar, niat tak ingin merepotkannya justru merepotkan semua orang.

Gadis itu berjalan sendirian menyusuri jalanan malam sambil memegang keyakinan jika dia akan menemukan apa yang dicarinya. Lagipun masih ada banyak pedagang kaki lima yang berjajar sepanjang Caca berjalan.

Selain itu, masih banyak pula pejalan kaki seperti Caca yang berkeliaran, dan dari sekian banyak itu, salah satunya memberhentikan langkah Caca.

Dia adalah seorang pria dewasa dengan postur tubuh tinggi, sedang tersenyum menatap raut bingung bercampur takut yang makin ketara pada wajah Caca.

"Carra Van Ilia?" katanya. Caca mengambil satu langkah mundur, kepalanya menggeleng kecil tak mengerti.

"S-siapa?" Tertelan gugup, Caca tak bisa menghadapi air muka mengerikan seperti ini.

"Saya orang yang sering muncul dalam mimpi kamu."

"Mark Jassin?" Jantung Caca berpacu begitu cepat, langkahnya kian mundur. Padahal jika dilihat, pria itu sama sekali tak membenarkan tebakan Caca, hanya entah mengapa nama itulah yang Caca lontarkan ketika dihadapkan dengan pernyataan pria tersebut.

"Kamu Carra?"

"B-bukan, saya Caca. Om kayaknya salah orang." Dengan cepat tungkai Caca berputar, dengan seluruh kekuatannya dia berlari menjauhi orang asing itu. Bukan tak mungkin jika saat ini Caca sedang ketakutan setengah mati. "Dia nggak mungkin ... pembunuh kan?" monolognya.

"Caca!"

"Kak Juan!" teriak Caca menyadari siapa yang baru saja memanggil namanya. Juan ternyata datang mencari Caca usai tak menemukan gadis itu di dalam rumah. Pria itu tak kalah setengah mati khawatirnya.

"Aduh..." Karena terlalu semangat berlari dan tak memperhatikan jalan, karma menyambut Caca dengan membuatnya tersungkur ke tanah. Siku dan lututnya terasa ngilu dan perih.

Juan pun segera mengambil langkah cepat untuk membantu Caca yang matanya sudah berkaca-kaca.

"Nggak apa-apa, lain kali hati-hati, ya?" kata Juan lembut, berusaha menghibur Caca agar tidak menangis. Kulit Caca itu sangat halus dan juga lembut, pasti sakit sekali rasanya terjatuh di jalanan trotoar seperti ini.

"Berdarah." Caca menatap lututnya sendu, bahkan dia bisa melihat sebuah kerikil kecil menancap disana. Dan saat Caca bersiap menangis, Juan tiba-tiba memeluknya.

"Kalau nangis, nggak gue obatin." bisik Juan, terasa Caca meremat bagian dadanya saat Juan berusaha mengeluarkan kerikil kecil itu dari dalam luka Caca menggunakan kukunya. Juan merasa amat bersalah, tidak tahu kenapa. Mungkin karena dia seperti tidak bisa menjaga Caca dengan baik seperti yang Vian harapkan.

Bittersweet Vanilla ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang