"Caca nakal?"
Juan menanggalkan helm dalam menggelengkan kepalanya. Baru sampai di parkiran kampus, dia sudah disambut Vian yang terlihat sengaja menunggunya. Malah langsung memberi pertanyaan tentang sang adik.
"Baru gue anterin sekolah." ucap Juan, sudut bibirnya tertarik keatas. "Lo tahu, dia girang banget karena dibuatin bekal sama Mama." imbuh Juan mengingat kejadian pagi ini.
Mendengar cerita Juan, Vian merasa hatinya mencelus begitu tenang. "Nggak ada yang lebih bikin Caca bahagia selain ngerasa kalau dia itu disayang. Dan gue jarang banget kasih itu ke Caca." Napas Vian terembus begitu berat.
"Ck, lo kan Kakaknya. Yang paling deket sama Caca, yang ngurusin dia juga. Itu juga sayang namanya." Juan menepuk pundak Vian sekitar tiga kali. Dia tahu jika belakangan ini kondisi Vian sedang sedikit kacau. Fisik dan pikirannya tidak sehat.
"I'm a bad brother, Ju. Nggak ada Kakak yang sering nyiksa adiknya sendiri terus divideoin." Vian tertawa, begitu miris dengan sikapnya sendiri.
"Lo punya alasan, dan itu semua juga demi Caca."
"Gue terpaksa. Gue terpaksa ngaku didepan Caca kalau yang gue lakuin cuma bercandaan. Sedangkan kenyataannya? Itu semua kemauan Ayah gue. Gue harus yakinin dia kalau selama ini gue cuma nyiksa Caca di rumah," Vian mengusap rambut serta wajahnya begitu kasar. Dia benci dengan posisi ini. "Tapi gue nggak tega tiap kali liat Caca nangis. Gue bener-bener Kakak yang paling buruk."
"Lo nggak harus nyalahin diri lo berlebihan kaya gini. Caca tetep sayang sama lo, dia tetep butuh lo, Vian. Jangan nyerah."
"Dalam sehari, gue bisa bikin Caca nangis tiga kali." Vian menunjukkan tiga jarinya di depan wajah Juan. "Dan tiga kali itu paling sedikit. Artinya gue bisa bikin Caca nangis lebih dari tiga kali, bahkan lima kali, atau lebih buruknya ratusan kali." Baiklah, mungkin yang terakhir agak berlebihan. Karena Vian mulai merasa frustasi.
"Tapi lo udah nemuin apa yang lo cari kan?" tanya Juan, mengalihkan topik. Kalau boleh jujur, Juan pada awalnya tak mengerti tentang masalah keluarga Van ini. Dan mulai tahu sejak dia dan Caca terlibat insiden ketidaksengajaan waktu itu.
Mulanya Juan hanya bercerita tentang tingkah Caca pada Vian. Dan semakin dia dekat dengan dua kakak beradik itu, semakin banyak pula Vian bercerita mengenai kehidupannya dengan Caca. Dan bukan tak mungkin jika kini Juan juga tahu tentang rencana yang tengah Vian susun.
Vian merogoh saku celananya. Menunjukkan flashdisk yang ia temukan pada Juan. "Masalahnya ada di dalam sini." ucap Vian.
Juan mengambil alih benda kecil itu. "Ini tinggal lo pasang ke laptop, kelar masalah."
"Nggak segampang itu, dodol!" Vian menimpuk kepala Juan. "File yang ada disini pakai pengaman sekunder. Ayah gue emang nggak tanggung-tanggung kalau bikin stres!"
"Sekunder gimana?" Juan masih tak paham.
Menghela napas kasar, Vian mengambil laptop dalam tasnya. Lalu memasang flashdisk tadi disana agar Juan paham.
"Ini satu-satunya file yang nggak bisa dibuka karena butuh kata sandi," Vian menunjukkan, Juan mengangguk paham. "Kalau kita masukin kata sandi disini, terus salah tiga kali, semua isi file ini bakal kehapus, habis. Dan sialnya kesempatan gue tinggal satu kali."
"Goblok!" Giliran Juan yang menimpuk kepala Vian. "Ngawur lo jadi orang."
"Ya mana gue tahu, namanya juga coba-coba!"
"Yang kaya gini butuhnya yang pasti, bukan asal-asalan. Terus sekarang gimana?" tanya Juan, dia mendadak ikutan bingung.
Vian mengedikkan bahunya, tidak tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...