"Jadi, saya matinya kapan, Dok?" Vian menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil menatap sosok Dokter yang baru saja selesai memeriksa kondisinya.
Sudah dua bulan terakhir ini Vian selalu merasakan sakit yang luar biasanya pada bagian kepalanya. Sekali dua kali, Vian pikir hal itu terjadi karena dia pusing memikirkan tugas kuliah, pekerjaan paruh waktunya--dan juga jangan lupakan Caca. Tapi ternyata pemicunya bukanlah hal itu, melainkan sebuah tumor yang digadang-gadang bersarang pada kepalanya.
"Asalkan kamu mau terus berobat dan--
"Saya tanya, saya matinya kapan? Saya itu nggak minta disembuhin." sela Vian. Dia sungguh tak berharap bisa pulih seperti sedia kala dan kalau pun iya, hal itu tidak mungkin.
Dokter bilang, posisi tumor yang berada di kepalanya sangat berbahaya jika harus dioperasi. Jadi, tidak ada pilihan lain bagi Vian selain rutin melakukan pemeriksaan, minum dan melakukan pengobatan untuk mencegah pertumbuhan tumor.
"Kami Dokter tidak memegang kendali atas kematian seseorang. Tugas saya hanya membantu kamu untuk tetap bertahan."
"Tapi ujung-ujungnya tetap sama kan?"
Helaan napas berat dari sang Dokter pada akhirnya membuat Vian tersenyum, miris. Seperti yang ia duga, tugasnya menjaga Caca hampir selesai dan dia masih belum membongkar apapun sampai detik ini.
"Vian, lakukan yang saya katakan. Jangan pernah berhenti datang kesini, saya tahu kamu punya seseorang yang sangat membutuhkan kamu." ucap Dokter. "Bertahanlah untuk orang itu ... sedikit lagi."
Tiba-tiba Vian merasa tenggorokannya menelan satu buah apel utuh dan tersangkut di sana. Dia bungkam, tak bisa lagi mengutarakan pernyataan karena langsung teringat dengan Caca.
Vian mungkin sudah banyak kali berganti pasangan wanita, dan kenyataannya tetap Caca lah yang mendominasi isi kepalanya. Adiknya sedang apa, dimana, bagaimana dan banyak hal lagi.
Kalian tahu, terkadang seseorang yang terlihat diam tidak peduli, yang sering disangka kasar dan tidak penyayang, justru mereka lah yang selama ini diam-diam memperhatikan dan selalu memikirkan kita. Dan Vian menjadi salah satunya.
Hubungannya dengan Caca memang tidak terlihat dengan baik. Tetapi jika rasa sayang Vian terhadap Caca itu terlihat, mungkin sosok pembunuh keluarga Van itu sudah mati tertimbun saking banyaknya.
"Saya udah nemuin orang yang tepat untuk dia, Dok. Saya yakin orang itu bisa jagain adik saya." Vian kembali melempar senyuman tipis. "Saya bakal bertahan, supaya dia bisa hidup lebih nyaman dan aman setelah saya nggak ada."
Misi terakhir Vian masih belum sepenuhnya berakhir. Masih ada isi file dalam laptop itu yang belum Vian lihat. Meski sudah terbuka, Vian belum merasa sepenuhnya siap. Rencananya dia ingin melihat isi file itu bersama Juan setelah kawannya itu selesai mengurus adiknya.
Sekalian Vian menunggu, sebab beberapa saat lalu David menghubungi dirinya dan bilang jika akan pulang sebentar. Vian hanya tinggal menunggu momentum saja untuk mengakhiri drama insiden belasan tahun silam ini.
.
"Caca udah, nggak kuat lagi."
Juan hanya mampu mengelus dadanya lagi bersabar. Dia ingin memaksa, tapi kalau Caca sudah terang-terangan menyerah begini apa boleh buat?
Bisa dilihat jelas jika mangkuk bakso milik Caca masih terisi penuh dengan pentol dan cabainya. Bagaimana tidak? Setelah mengungkapkan ingin hadiah berupa makan bakso beranak, Juan langsung menurutinya. Dan inilah yang baru saja terjadi, wajah Caca terlihat tak bersemangat lagi usai paham dengan makna nama 'bakso beranak. '
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...