11. The Game

152 34 8
                                    

Sampai hari ini, Caca masih memendam segala kecamuk kebatinannya sendiri. Caca menyembunyikan segala hal yang tiap kali diingat membuat kepalanya bekerja keras dan berakhir kelelahan. 

Selama 18 tahun hidup, Caca tidak mengerti kenapa sejak dulu orang tuanya dan Vian terlihat begitu tertutup. Mereka harmonis, tapi mereka juga banyak diam.

Caca bahkan tidak tahu apakah Ibunya--Selena, yang sejak tiga tahun terakhir tak pulang ke rumah dengan alasan ke Hongkong itu benar-benar kesana untuk bekerja atau melakukan hal apa. Caca sama sekali tak tahu.

Mungkin jika ada ajang pencarian juara siapa anak yang paling tidak mengerti keluarganya, mungkin Caca akan langsung mendapatkan piala.

Apalagi jika membicarakan Ayahnya, Caca malah merasa tidak punya Ayah. Jika ditanya keluarga, Caca akan banyak menjawab jika Vian lah keluarganya. Caca katanya punya orang tua, tapi dia mulai merasa tidak punya.

Selena mungkin Ibu yang baik, tapi sejak tak pernah mau menghubungi Caca, gadis itu merasa jika memang Selena sengaja pergi meninggalkannya.

Masih di kediaman Juan, Caca selesai berganti pakaian sesuai yang diperintahkan Vian. Mereka berkumpul lagi di ruang tengah, Vian bilang mau mengajak Caca bermain game.

Padahal rencananya hari ini, mumpung Juan dan Vian berkumpul, Caca ingin memberitahu tentang pertemuannya dengan pria misterius yang mana sampai saat ini Caca masih menduga jika pria itu adalah Mark Jassin. Sosok nama yang sering muncul di mimpinya.

Tapi baiklah, kita lihat dulu permainan apa yang akan Vian sandingkan untuk Caca. Gadis itu tengah menikmati sepiring puding cokelat yang ia temukan di dalam kulkas Juan. Sora baik sekali dalam mengolah cokelat, dan Caca selalu menyukai hal itu.

"Katanya mau main game." tegur Caca, dia memangku piringnya sambil menunggu respon Vian dan juga Juan. Caca tidak mengerti lagi dengan dua pria yang sejak tadi diam itu.

"Sebentar, Vian lagi mikir." Juan yang memberi respon lebih dulu. Dia tidak tahu benda apa yang Mamanya masukkan ke dalam puding sampai membuat orang yang memakannya terlihat begitu lucu seperti ini.

Entah baru sadar setelah sembarangan diakui pacar, atau memang karena kehadiran Vian, Caca terlihat seperti anak TK yang memang masih gemas-gemasnya di mata Juan.

"Pasti mikir strategi buat ngalahin Caca." Caca menatap Vian angkuh. Kakaknya hanya memberikan tatapan sedatar papan catur, kenapa adiknya bisa mendadak begitu percaya diri?

"Kak Vian mau?"

Vian menatap puding yang Caca sendokkan, seperti bukan hal yang buruk untuk ia terima dan masukkan ke mulut. "Enak kan? Caca suka deh di sini, bisa makan cokelat tiap hari."

"Yaudah, lo nikah aja sama Juan biar sekalian jadi yang punya Wchocolate."

Caca menggeplak kepala Vian. "Kak Vian nggak boleh gitu, malu-maluin tahu, ada Kak Juan."

Malah Juan sedang senyum-senyum sendiri sekarang. Caca sampai tidak berani bahkan hanya sekedar melirik, pasti sekarang Juan menganggapnya gadis aneh. Padahal aslinya Juan senang tiap kali melihat interaksi antara Vian dan Caca. Mereka ribut, tapi juga lucu.

"Caca masih kecil, nanti aja nikah kalo udah gede dikit." ucapan Juan membuat Vian yang semula meringis mengusap kepalanya menjadi tertawa sambil menatap Caca.

"Tuhkan, lo emang masih bocil, Ca." Vian menonyor kepala Caca sebagai balasan. "Jadi, jangan ngerasa kalo cuma gue doang yang nganggep lo bocah."

"Caca udah 18 tahun! Udah punya KTP." Gadis itu membela diri. Kadang Caca kesal berada di posisi ini, dia ingin sekali bisa berpikir dan bertindak dewasa seperti Dara dan juga teman-teman sebayanya, tapi tiap kali Caca berusaha melakukan hal itu, dia malah akan terlihat begitu kekanak-kanakan. Caca butuh serum pendewasaan sekarang juga!

Bittersweet Vanilla ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang