Adegan berkelanjutan.
"Wilma itu nama pacarnya Kak Juan?"
"Hmm."
Satu hal lagi tentang Juan, Caca mengantonginya. "Namanya cantik, pasti wajahnya juga."
Hening.
Juan lebih dulu memilih membasahi kerongkongannya setelah melempar senyum tipis tanda tunggu. Sepertinya kali ini dia dan Caca akan lebih banyak bicara, mengingat di luar sana hujan masih belum sepenuhnya reda. Alam seakan mengutuk keduanya untuk bersama dalam waktu yang lebih lama lagi kali ini.
"Semua nama itu cantik, semua wanita itu juga cantik. Dan lo nggak bisa jadiin nama sebagai acuan buat menebak fisik seseorang." Suara bariton Juan merenggut lantunan gerimis yang baru saja hendak Caca nikmati. Dia pikir Juan memang sengaja tak menanggapi.
"Iya. Tapi daripada cantik, nama Caca itu kedengaran aneh nggak sih?" Mungkin sekarang ini Caca kembali heran dengan namanya yang simple. Hanya tercipta dari dua huruf yang diulang pengucapannya.
"No, it's a very adorable sounding name."
Baiklah, kali ini Caca bukanlah seorang yang payah dalam berbahasa Inggris. Juan bilang namanya terdengar menggemaskan, dan untuk pertama kalinya hari ini Caca tersenyum begitu lebar.
Kalian tahu, kalimat sederhana akan terasa begitu berkesan jika kalian jarang bahkan nyaris tak pernah mendapatkannya. Dan ya, Caca mendapatkan ungkapan dari seseorang yang mengatakan jika namanya tidak aneh seperti yang selama ini dia pikirkan.
Caca, nama yang menggemaskan.
"Makasih, Kak Juan."
Pemuda itu mengangguk. "Sama-sama, Caca." Tangannya kembali mengepal kuat, Juan tak mengerti. Kenapa dia sangat ingin sekali mengacak-ngacak rambut Caca yang sudah jelas-jelas terlihat lepek itu!?
"Caca boleh pinjem HP-nya nggak?" tanya Caca. Sejujurnya merasa sungkan, tapi Caca pikir dia harus. "Caca harus ngomong sama Kak Vian biar nggak dicariin."
Juan rasa pemikiran-pemikiran kecil yang tumbuh di kepala Caca seperti itu bukan menjadi hal yang asing bagi seorang anak gadis. Mereka akan merasa khawatir berlebihan jika kedapatan tengah pergi bersama seorang laki-laki, mungkin Juan memang tak memiliki maksud apa-apa. Tapi dia tidak keberatan dengan permintaan Caca.
Seingatnya dulu sewaktu awal-awal pacaran dengan Wilma, Juan juga harus terang-terangan datang ke rumah sang kekasih atau paling sederhananya menghubungi orang tua Wilma tiap kali mengajak wanita itu berkencan. Dan hal itupun masih berlaku sampai sekarang.
Eh, tapikan dia dan Caca tidak sedang berkencan.
"Passwordnya Wilmay delapan," tutur Juan usai memindahtangankan ponselnya.
Caca mengangguk sambil mengulum bibir bawahnya. Juan sepertinya adalah pria yang romantis dengan pasangan, sampai-sampai password ponsel saja menggunakan nama pacarnya.
"Wilmay?" Caca memastikan apa yang ia ketik. Ini salah, kenapa juga Juan tidak menuliskan passwordnya dulu sebelum memberikan benda ponsel itu pada Caca? Atau mungkin Juan memang sengaja melakukan hal tersebut untuk menunjukkan pada Caca seberapa cintanya dia dengan Wilma.
"Iya. Wilmay, kasih angka delapan tanpa spasi." tegas Juan sekali lagi.
"Artinya apa?" Bukannya segera menyelesaikan acara memasukkan password, Caca malah bertanya karena lagi-lagi tak bisa mengendalikan rasa ingin tahunya.
"Sederhana, dia ulang tahun tanggal 8 Mei."
Caca tertegun. 'Ini orang so sweet banget sih? Ya Tuhan, coba aja punya Abang modelan gini.' batin Caca, miris.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...