🎧Tertawan hati, Awdella.
"KAK VIAN!" Caca berteriak keras ketika masuk ke dalam rumahnya. Dia meletakkan asal barang bawaannya di lantai dan berlari ke seluruh penjuru rumah mencari keberadaan Vian. Mobil Kakaknya berada di bagasi, berarti Vian sedang berada di rumah.
Hari ini Caca memutuskan untuk pulang ke rumah. Ini kemauan Caca, tapi dia juga merasa setengah di usir dari rumah Juan.
Beberapa hari lalu, Vian memintanya untuk tinggal sedikit lebih lama lagi di rumah Juan, tapi setelah balikan, Wilma jadi sering datang ke rumah Juan dan membuat Caca merasa risih.
Wanita itu juga kerap mengeluarkan candaan atau sindiran halus yang ditujukan agar Caca segera pergi dari sana. Mungkin Wilma cemburu, padahal sejak mereka balikan, Caca sama sekali tidak dekat lagi dengan Juan.
Dan pada puncaknya hari ini, Caca memutuskan untuk keluar dari sana. Hanya Sora, Mama Juan yang Caca pamiti. Karena Juan sedang pergi berkencan dengan Wilma.
"Caca, Tante itu bener-bener nggak keberatan kamu tinggal di sini. Tante seneng karena ada yang suka nemenin Tante ngolah cokelat, cerita-cerita tentang cokelat. Tante seneng, Ca."
Caca tiba-tiba menangis mengingat ucapan Sora yang satu itu, karena jauh di dalam hatinya, Caca juga suka dengan apa yang ia lakukan bersama Sora. Caca merasa kembali memiliki sosok Ibu di dekatnya.
Tapi Caca juga tak punya pilihan, dia tidak mau hubungan Juan dan Wilma renggang karena kehadirannya.
"Kak Vian dimana?" Caca mengusap air matanya sambil sesenggukan usai tak mendapati Vian di dalam kamar. Jadilah Caca berlari menuju kamarnya sendiri.
Dan saat membuka pintu, tangisnya kian kencang. Vian terlihat tidur di atas kasurnya, dan Kakaknya itu terlihat sedang tidak baik-baik saja.
"Kak Vian," Caca melompat ke atas kasur dan memeluk erat tubuh Vian. Dia ketakutan melihat wajah Vian yang pucat.
Merasa terusik, Vian membuka matanya dengan jantung berpacu cepat. Kenapa adiknya bisa di sini?
"Lo ngapain pulang?!" sentaknya sambil berusaha menyingkirkan tubuh Caca. Tapi percuma, Caca masih memeluknya erat sambil menangis. "Lo nggak dengerin gue? Gue suruh lo di rumah Juan aja, ngapain pul-- Ca?"
Vian tak menyelesaikan kalimat terakhirnya, baru kali ini dia merasa seluruh bajunya basah kuyup. Dan baru kali ini, Caca menangis diam tanpa suara.
"Lo kenapa? Siapa yang jahatin lo?" Vian bergerak lemah memeluk tubuh adiknya.
"C-caca nggak suka," ucap Caca terbata-bata sambil sesenggukan. "Caca nggak suka, Kak Vian."
"Yaudah nangis aja," Vian mengelus lembut pundak Caca. "Nanti kalo capek tidur, ya?" bisik Vian serak. Air matanya ikut turun setengah susah payah ia tahan.
Setelah ini kemana, kemana Caca akan berlari saat menangis ketika Vian tidak ada nanti?
Vian memejamkan matanya yang pedih, kepalanya terasa berdenyut luar biasa. Rasa sakit itu benar-benar membunuh Vian sedikit demi sedikit.
"Ca, masih ingat pesan gue nggak?"
"Hmm." Caca berguman mengiyakan, meski begitu, tangisnya masih belum reda. Segala hal yang Caca rasakan dalam dirinya, semua terasa dicampur aduk sekarang. Caca merasa seperti sedang berada di atas komedi putar yang bergerak begitu cepat. Dia takut jatuh, dia juga bingung bagaimana, dan dimana dia bisa turun.
Tentang sosok Mark Jassin yang muncul, tentang keluarga Van, tentang orang tuanya, tentang perasaan tak masuk akalnya, dan juga tentang Vian. Semua itu membuat Caca merasa sangat bodoh sebagai seorang manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...