Sepuluh hari berselang pasca rasa penasaran Caca akan martabak telur bebek terpenuhi. Dia sudah tidak diizinkan lagi oleh Vian menonton acara makan-makan di media sosial karena Vian tak punya waktu untuk menuruti jika Caca keracunan vlog lagi.
Vian menjadi lelaki super sibuk menjelang kelulusannya. Caca yang baru merasa senang karena banyak berinteraksi dengan Vian harus kembali menerima sikap cuek pemuda itu. Percakapan keduanya bahkan bisa Caca hitung jari dalam sehari.
"Caca! Sarapan!" Dan kalimat ini selalu menjadi pertama yang menyapa rungu Caca di pagi hari.
Caca keluar kamar secepat mungkin untuk mengejar waktu agar bisa sarapan bersama Vian dan mencuri sedikit waktu untuk mengobrol. Tetapi Vian selalu sengaja memanggil Caca di saat-saat terakhir, jadinya seperti sekarang ini. Caca datang dan Vian bersiap pergi.
"Dihabisin, uangnya juga udah di atas meja," ucap Vian, ekor matanya melirik Caca yang yang pagi-pagi sudah tak sedap dipandang. Wajahnya kusut tak bersemangat.
"Kak Vian minum apa?" tanya Caca, penasaran dengan Pill yang baru saja Vian tegak. Sekaligus membuka topik agar bisa sedikit berbincang dengan Vian.
"Vitamin lah, biar gue nggak lesu kaya orang cacingan macam lo."
Caca senang mendapat respon, tapi bukan yang seperti ini juga.
"Jahat! Nggak sayang adik."
Vian berkacak pinggang setelah menaruh gelasnya diatas meja. "Sembarangan. Kalo gue nggak sayang, nggak mungkin lo masih hidup."
Caca langsung merinding. Merasa durhaka.
"Kak Vian nggak mau nemenin Caca sarapan?" Pertanyaan yang secara tak langsung bermaksud mencegah langkah Vian, pria memicingkan mata menatap Caca.
"Males bangett. Makan udah disiapin, segala minta ditemenin," Vian meraih ranselnya dan bersiap melenggang pergi. "Lima belas menit lagi taksinya sampai, makan yang cepet."
Caca hanya mengangguk dan membiarkan Vian pergi. Seperti hari-hari sebelumnya, Caca berangkat dan pulang sekolah menggunakan taksi online yang dipesankan khusus oleh Vian.
Sedikit percakapan pagi kali ini, pada nyatanya membuat Caca menoreh senyum. Dia mungkin memang jengkel tiap kali diejek dan dijahili oleh Vian, tapi ada ruang lain dalam relung Caca yang selalu bahagia menerimanya.
Di sekolah, kegiatan belajar mengajar terlaksana dengan baik seperti kebanyakan sekolah pada umumnya. Caca tak mengira waktu akan berlalu cepat hingga kini dia sudah berada di kantin dan mengantri makan siang.
Nasi goreng menjadi pilihan Caca, tepat setelah Juan merekomendasikan dan ternyata benar. Rasanya enak, dan Caca langsung suka.
Ngomong-ngomong soal Juan, Caca belum pernah bertemu lagi dengan pria itu sejak terakhir kali di alun-alun. Dan Caca juga tidak pernah memikirkannya. Lagipun tak baik memikirkan pacar orang.
"Dara, mau?" Caca menawarkan sendokan pertamanya pada Dara, teman sebangkunya itu nampak begitu khidmat menatap layar ponsel sambil menggigit jemari. Caca pikir dia lapar.
"Ca, lo udah liat berita belum?" Dara bertanya tanpa memberi Caca jawaban. Raut mukanya terlihat cemas tanpa maksud jelas.
"Enggak liat, kabel tv rumah gue diobrak-abrik Kak Vian Minggu kemarin. Jadinya sekarang rusak," tutur Caca yang kemudian asik menikmati makan siangnya. Dia tidak menyesal mencoba, nasi goreng ini sungguh enak.
"Di hp?"
Caca menggeleng, lalu segera menelan kunyahannya agar bisa menjawab Dara lagi. "Hp gue disita Kak Vian, dia ngamuk gara-gara gue kena racun makan receh mulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...