Sudah satu Minggu Caca dirawat di rumah sakit, dan artinya satu Minggu pula Caca bolak-balik melihat wajah Juan setidaknya tiga sampai lima kali dalam sehari. Dan sebanyak itu pula Caca tidak—atau belum mengucapkan terimakasih bahkan berbincang dengan Juan.
Yang gadis itu lakukan tak lebih dari sekedar mengangguk atau menggeleng, selebihnya diwakili oleh Selena. Caca tidak tahu kenapa, tapi tiap kali ingin berbicara dengan Juan, dia selalu merasa ingin menangis.
Jika disuruh untuk jujur, Caca itu sebenarnya tidak marah ataupun menyalahkan—bahkan melibatkan Juan dalam kasus yang menjerat Ayahnya dan Ayah Juan. Caca sudah cukup mengerti jika Juan sebenarnya juga korban dari Ayahnya sendiri. Korban karena tidak pernah tahu dan merasa diakui sebagai seorang anak.
Satu-satunya hal yang membuat Caca merasa seperti ini adalah kenapa. Kenapa disaat Caca terpuruk dan membutuhkan orang seperti Juan, pria itu malah menghilang? Padahal sebelum meninggal, Vian bilang jika Juan hanyalah satu-satunya pria yang bisa dia percaya. Tapi nyatanya Caca tak mendapat demikian.
"Caca," Panggilan itu membuyarkan lamunan Caca, dia menatap Selena. "Bunda tinggal cari baju buat ganti, boleh?"
Sebelum menjawab, Caca menatap jam dinding yang ada di sudut ruangan. Dia bingung. Bundanya itu dari kemarin memang belum berganti pakaian, tapi jika Caca membiarkan Selena pergi, bagaimana cara dia menghadapi Juan setelah ini? Sedangkan tak kurang dari 15 menit lagi Dokter itu pasti datang untuk memeriksa Caca.
Menunggu jawaban, Selena akhirnya tahu apa yang putrinya pikirkan. Detik berikutnya rambut Caca terasa dielus lembut. "Mau sampai kapan kamu diemin Juan?"
"Caca nggak diemin Juan!" jawab Caca tak terima. "Dia aja yang nggak peduli sama Caca."
Selena mengulas senyum. "Setelah apa yang dia lakuin buat kamu sampai hari ini?"
"Bunda, please!" Caca sedang tidak ingin banyak berpikir lagi. "Caca nggak bisa ngomong sama Juan, pengin nangis mulu."
Padahal tiap kali datang, Juan selalu mencari celah dengan mencoba banyak bicara dengan Caca. Hanya saja sepanjang dia melakukan itu, Caca belum pernah mendengar kata sesederhana "maaf" kendati telinga Caca masih berfungsi begitu baik.
Bukannya apa-apa, tapi memang seharusnya begitu kan? Mungkin kalau Juan mau mengatakan hal itu, Caca akan lebih mudah melunak. Sekalipun harus menghakimi Juan lebih dulu—sedikit.
"Makanya dicoba dulu, Caca lupa Vian pernah pesan apa?"
'Baikan sama Juan, dia cowok yang bisa jagain lo setelah gue.' Caca menghela napas berat mengingatkannya. Padahal saat itu Caca dengan teguh mengangguk dan mengiyakan permintaan Vian—tidak tahu jika akan sesulit ini ketika menjalaninya. Caca bahkan merasakan canggung yang luar biasa, lebih canggung daripada bertemu Juan untuk pertama kalinya dulu.
"Bunda tinggal, ya? Siapa tahu kalian bisa ngobrol kalo Bunda tinggal."
"Atau malah nggak ngobrol sama sekali." Caca tertawa hambar. Dia tidak yakin. Selena kembali mengelus rambut Caca. "Bunda jangan lama-lama," pesan Caca.
Begitu Selena mengangguk dan meninggalkan ruangan, tak lama berselang dugaan Caca terbukti. Pintu ruangannya kembali terbuka dengan sosok Juan yang muncul dengan setelan jas putih khas Dokternya sambil menyapa.
"Selamat pagi, Caca."
Gadis itu sekarang merasa seperti baru saja menelan satu buah bola kasti dan sekarang tersangkut di lehernya. Mungkin Caca akan pura-pura bisu saja pagi ini.
"Udah sarapan?" Dan pertanyaan itu, selalu menjadi hal pertama yang Caca dengar dari Juan selama di rumah sakit. Dan selama itu pula Caca tak memberikan jawaban khusus kecuali mengangguk singkat tanpa sedikitpun melirik Juan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...