Caca mau menobatkan hari ini menjadi 'hari menangis Caca sedunia'. Dari pagi, sampai sekarang sudah sore menjelang malam, Caca terus menangis. Bukannya lelah dan berhenti, Caca justru menjadi-jadi. Terlebih lagi mendengar Vian mulai membuka lapis demi lapis fakta yang membuat hatinya kian terasa diiris tipis-tipis.
"Gue kasih lo waktu 10 menit, berhenti nangis dan gue bakal kasih tahu semuanya. Semuanya yang pengin lo tahu." Vian memberi jeda, dia sudah melakukan banyak cara untuk membuat adiknya berhenti menangis, dan Vian harap cara ini menjadi yang terakhir.
Vian menunggu Caca sembari memakan semangkuk mie kuah yang mulai dingin—awalnya disiapkan untuk Caca, tapi tidak dimakan karena sibuk menangis.
10 menit pun berlalu, terlihat Caca sudah mulai tenang meskipun masih terlihat jelas raut kesedihannya.
"Caca nggak sedih kalau emang Caca bagian dari keluarga itu, tapi Caca sedih karena ternyata—ternyata Caca bukan adik kandungnya Kak Vian." Mata merah sembab Caca menatap Vian dengan begitu sendu. Ingin rasanya dia tak percaya dengan fakta yang dibeberkan Vian tentang latar belakang kehadirannya.
Mulai dari Caca yang disembunyikan di loteng rumah bersama dengan Selena—orang yang sering ia sebut Bunda. Sampai akhirnya Caca diangkat menjadi bagian dari keluarga Alexandre dengan tetap mengikutsertakan nama Van. Vian sudah menceritakan semuanya.
"Ca, dengerin gue," Vian menangkup wajah Caca. "apapun yang terjadi, lo tetep adik buat gue. Gue jagain lo bener-bener ikhlas, Ca. Nggak peduli gue sejahat apa di mata lo, tapi nyatanya semua hal yang gue lakuin, itu semata-mata cuma buat jagain lo, Ca. Sumpah."
"Caca nggak suka diburu, Kak." Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Semenjak kasus itu dibahas lagi, Caca nggak pernah ngerasa tenang. Caca kaya diikutin mulu, dan puncaknya orang itu akhirnya datengin Caca. Caca itu takut."
"Lo yakin kalo orang yang lo liat itu Mark Jassin?" Karena jujur saja, Vian masih agak abu-abu dengan yang satu ini.
"Caca nggak tahu, dia ngakunya gitu. Terus dia nggak manggil Caca pakai nama Caca, dia manggilnya—Carra?" Kepala Caca miring, agak tak yakin juga.
Vian memejamkan matanya, dia benar-benar akan membuat acara bongkar besar-besaran hari ini. "Carra Van Ilia, itu nama asli lo, Ca."
"Jadi bener?" Caca menutup mulut dengan kedua tangannya. Dia harus membuang dugaan-dugaan seperti, apakah sekarang ini Vian sedang ngeprank dirinya? Karena pada kenyataannya, hal-hal seperti ini terlalu serius untuk dianggap candaan.
"Iya, Bunda ngubah nama depan lo dan nama belakang gue, itu semua buat ngelindungin lo. Jadi, nggak ada alasan kalo kita bukan keluarga. Terlepas dari masalah kandung atau bukan, lo tetap adik gue, anak Bunda Selena dan juga—ayah." Napas Vian kembali terbuang berat.
Kepala Caca menunduk. "Ayah nggak sayang sama Caca."
"Kita nggak tahu, karena mungkin Ayah juga punya alasan kenapa ikut ngelakuin hal itu. Dia emang yang bunuh Kakek lo, tapi akhirnya dia milih buat ikut nyelametin lo. Padahal saat itu tugas dia bunuh kalian berdua."
"Menurut Kak Vian, Ayah dikendalikan sama Mark Jassin nggak sih?"
Meski membutuhkan waktu, Vian dengan ragu mengangguk. "Ambilin laptop di kamar gue, sekalian sama flashdisk di bawah kasur." suruhnya.
"Kak Vian kan sakit, jangan nugas terus. Mending istirahat."
"Siapa yang mau nugas? Gue mau kasih liat sesuatu buat lo." Astaga, bahkan di saat seperti ini Vian merasa ingin mencekik Caca.
"Film Avatar season 2, ya?" terka Caca. Dia ingat film itu banyak dibicarakan belakangan ini.
"Ca, please! Bisa nggak sih, sehari aja lo itu jangan bego-bego jadi cewek?" Vian mengacak rambutnya melampiaskan geram. "Buruan ambil!" titahnya membuat Caca langsung berlari terpontang panting.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...