07. Let me know

171 41 3
                                    

"Malu-maluin banget lo jadi adik."

Caca hanya menundukkan kepala, malam ini suara jangkrik terdengar menderik keras dari kebun belakang rumah. Caca pikir suara serangga itu sudah sangat berisik dan menganggu konsentrasinya, tapi ternyata suara Vian lebih berisik. Bukan hanya sekedar menganggu konsentrasi, omelan Vian sudah masuk kategori membubarkan konsentrasi Caca. Gadis itu sudah menutup buku pelajarannya.

"Caca kan nggak tahu kalo Kak Vian sama Kak Juan itu temenan." Suara Caca terdengar lirih, takut karena tiap Vian mengomel, mulutnya selalu bergerak mencari pembelaan. Dan Caca tak mau berakhir diborgol lagi.

Jadi alasan Vian mengomel malam ini karena sudah tahu beberapa masalah yang pernah menyangkut Caca dan Juan, mulai dari masalah tukang ojek sampai tertidur saat dibonceng pria itu, Vian mengulasnya tanpa ampun.

"Yang jadi masalah itu, harusnya lo nggak boleh bersikap sembarangan sama orang yang belum lo kenal, Ca." ucap Vian, "Ya kalau semua cowok sifatnya kaya Juan, sayangnya enggak. Jangan suka kekanak-kanakan kenapasih?"

Caca tak mengerti, padahal dia melakukan semua itu tanpa sengaja dan tanpa paham yang jelas. Dan Vian makin terlihat seperti seorang Emak-emak di mata Caca.

"Iya-iya, minta maaf." Caca memilih mengalah, dia menunjukkan jari kelingkingnya pada Vian.

Sang Kakak nampak menghela napas. Repot, jika sudah disandingi pemandangan mata Caca yang memerah. Mungkin lima menit lagi gadis ini akan menangis sesenggukan. Sebelum hal mengerikan itu terjadi, Vian segera menautkan jari kelingkingnya pada Caca.

"Kalo dikasih nasehat itu didengerin buat evaluasi diri, bukan malah nangis."

Kepala Caca menggeleng cepat. "Caca nggak nangis, pipinya kering nih." Telapak tangan Vian disentuhkan pada bagian pipi Caca. Memang tak basah, tapi bagian mata gadis itu tak pernah bisa bohong.

Kadang Vian kasihan jika harus menasehati bahkan sampai menghukum Caca dengan cara yang sedikit keras, hanya saja dia tak punya pilihan lain untuk tidak melakukannya.

"Terserah apa kata lo ajalah." Vian duduk disamping Caca. "Lanjutin belajarnya, gue temenin."

"Udah selesai," Nampaknya Caca sudah tak bersemangat lagi. "Kak Vian, TV-nya masih nggak bisa nyala?" tanya Caca dan Vian menggelengkan kepala.

"Kalau mau liat kartun, ambil laptop gue satunya yang ada di kamar." Vian sendiri sekarang juga masih sibuk dengan laptopnya.

"Caca mau liat berita pembunuhan, bukan kartun."

Mendengar hal tersebut membuat Vian melepaskan fokus pada laptopnya. Menatap Caca yang sudah dipenuhi raut penasaran besar. Vian bisa membacanya dengan jelas.

"Ngapain lo liat berita kaya gituan?"

"Ya biar Caca nggak terus-terusan liat kartun. Nanti Caca nggak gede-gede kalo liat kartun terus," alibi Caca. Belum sempat Vian menimpali, dia kembali membuka mulut. "Katanya yang dibunuh satu keluarga, kepalanya dipenggal semua. Terus nama keluarganya sama kaya kita, Van. Apalagi tempatnya itu disekitar kompleks rumah kita, Kak. Berarti udah ada keluarga Van sebelum kita pindah kesini. Kira-kira rumah mereka dimana ya?"

Vian memijat pelipisnya, tiba-tiba pusing dengan kalimat panjang Caca yang nyaris tak melenceng itu. "Lo bisa nggak sih, Ca, berhenti jadi orang kepo?"

"Nggak bisa. Soalnya ini beritanya trending banget! Dan Caca ketinggalan karena Kak Vian nggak balikin hp Caca!" Gadis itu memberengut kesal.

"Nggak usah gampang terpengaruh sama berita di luaran sana. Kalaupun tempat mereka dibunuh ada sekitar sini, itu juga bukan urusan kita. 17 tahun itu lama, udah banyak yang berubah."

Bittersweet Vanilla ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang