Pagi ini, dua Van bersaudara sedang disibukkan--atau lebih tepatnya dipusingkan dengan misi mencari martabak telur bebek seperti yang Caca inginkan semalam.
Vian tidak tahu apa yang meracuni isi kepala Caca sampai sangat ingin dengan makanan berbau telur yang dibalut tepung itu, yang jelas pagi ini mereka banyak sekali bertemu dengan pedagang martabak.
Dari pada Caca, yang lebih pusing itu Vian. "Ini tempat terakhir ya, kalo nggak ada kita pulang." Dia memberi peringatan kepada Caca.
Mobil mereka berhenti di alun-alun kota, jika dihitung, jarak tempat ini dengan rumah tergolong jauh. Dan sejauh itu pula Caca tidak menemukan apa yang ia inginkan. Sebenarnya dia mencari makanan itu karena penasaran saja, beberapa hari ini Caca suka menonton food vloger di media sosial dan martabak telur bebek menjadi makanan yang paling menyita perhatiannya.
"Harusnya kalo nggak ada kita cari lagi sampai ada."
Vian menoleh, menatap Caca. "Dua kilometer lagi kita sampai luar kota, apa kurang jauh, hah?"
Caca terdiam. "Lo pikir kerjaan gue buat nurutin lo yang banyak mau aja?" sindir Vian mengimbuhi.
Menyadari Vian mulai kesal, Caca jadi tidak berpikir mau melanjutkan rencana makan martabaknya. "Yaudah, sekarang pulang aja. Nggak usah cari martabak lagi."
"Lo ngambek?"
Caca menggeleng, dia itu memang banyak mau. Tapi jika bukan pada Vian, kemana lagi Caca akan meminta? Sedangkan di sisi lain dia juga ingin berhenti merepotkan Vian.
"Daripada Kak Vian repot," tutur Caca, detik berikutnya Vian dengan cepat melepaskan tubuh Caca dari jeratan sabuk pengaman.
"Keluar, kali ini gue yakin bakal nemuin yang lo mau." Vian menatap ke arah luar jendela mobil sebentar, tak lama berselang Caca kembali dihadiahi suara debuman pintu pertanda Vian sudah tidak ada lagi di sampingnya.
Tak mau ketinggalan, Caca segera menyusul. Mengambil langkah di sisi sang Kakak, sambil ikut mengamati sekeliling.
"Ramai," celetuk Caca begitu melihat banyak orang yang berkumpul menikmati waktu liburan mereka.
"Martabak...martabak.." sedangkan Vian sibuk berguman dengan mata yang mengamati semua pedagang yang ia lihat.
"Kak Vian, itu!" Yang di panggil spontan menghentikan langkah, Vian menatap kemana jari telunjuk Caca mengarah. Ternyata mata bulat rabun adiknya itu lebih tajam.
Sekitar lima meter dari tempat mereka berdiri terdapat gerobak kuning dengan banner bertuliskan 'martabak telur nikmat, bisa pilih telur bebek atau ayam'. Hal ini tentu secara tak langsung menghadirkan binar tersendiri bagi Caca, rasa penasarannya akan segera terobati dan kesusahan Vian pun menemukan titik terang.
"Tapi kok antriannya banyak sih?" Mungkin maksud Vian adalah menemukan titik terang setelah melewati bagian yang Caca pertanyakan ini.
"Biar gue yang ngantri, lo tunggu disini."
Caca mencekal pergelangan tangan Vian. "Caca mau ikut," cicitnya.
"Nggak," tolak Vian seraya melucut halus pegangan adiknya. Tanpa menunggu Caca bersuara lagi, dia berlari meninggalkan gadis itu.
Beberapa puing kerikil sukses terlempar menyambut tendangan-tendangan kecil yang Caca hadirkan di atasnya. Dia menatap Vian dari kejauhan, antrian makanan itu cukup panjang dan memakan waktu yang tak kalah cukup lama juga pasti.
"Padahalkan mau ditemenin biar Kak Vian nggak bosen." Bersenandika, Caca terduduk di tepian air mancur sambil menunggu Vian.
Boleh jujur? Caca jauh lebih senang dengan sifat Vian sekarang, meskipun masih banyak jahil dan membuatnya menangis, Caca senang karena disaat yang sama, Vian juga lebih banyak menunjukan kepedulian terhadap Caca ketimbang sebelum-sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...