"WOY, ADIK GUE MANA?"
Vian, sosok pria itu membuat seluruh isi kelas Caca melongo karena kehadirannya. Datang dengan celana pendek setinggi lutut dan kaos putih polos dengan topi hitam, dia berdiri di depan pintu sambil mengamati setiap sudut kelas untuk mencari adiknya yang--hilang. Vian pikir begitu.
Caca yang panik sekaligus malu dengan keadaan ini pun lantas meninggalkan kegiatannya dan berlari dari bangku paling belakang untuk menghampiri Vian.
"Kak Viann... ngapain sih?!" Caca memekik dan berdengus, lihat wajah didepannya ini. Vian langsung berkacak pinggang.
"Gue pikir lo diculik, sialan! Siapa yang ngajarin berangkat sekolah nggak pamitan? Gue hampir dipenggal sama Ayah, tahu nggak lo?" Vian tak kalah kesalnya dengan Caca, dia khawatir setengah mati sebelum ini. Apalagi saat sang Ayah menelepon dan menanyakan Caca yang setelah Vian cari tak ada di semua penjuru rumah.
Melihat sekeliling, Caca merasa menjadi bahan tontonan. Bisa-bisanya Vian mengajak geger di sekolah begini, coba saja kalau di rumah, Caca pasti akan mencak-mencak melawan.
"Caca udah pamit tahu, Kak Vi aja yang nggak mau bangun." Caca membela diri, dia mendorong tubuh Juan agar sedikit menjauh dari ruang kelas.
"Gue bangun dari jam lima, Ca. Jam lima!" Vian sampai menunjukkan kelima jarinya di depan wajah Caca.
"Tapi Caca gedor-gedor kamar, Kak Vi nggak jawab! Ya jangan salahin Caca dong kalo Caca berangkat sekolah sendiri."
Vian yang makin merasa dibuat kesal hanya bisa meraih kedua pipi Caca, menekan buntalan daging itu sampai mata Caca menyipit kecil sebagai pelampiasan.
"Lo bilang semalem pengin bubur ayam buat sarapan, gue cariin ke luar pagi-pagi. Terus maksud lo gedor-gedor sama teriakin kamar kosong buat apa, hah?" Vian menggoncang kepala Caca, "Gue jual juga lo," imbuhnya kemudian melepas apitannya pada pipi Caca.
"Caca kan nggak tahu!" Satu pukulan keras mendarat pada lengan Vian. "Caca bakal dukung Ayah seratus persen buat menggal kepalanya Kakak."
Mata Vian membola. "Bener-bener nggak beres lo jadi adik," sebutnya untuk Caca.
"Yaudah, pulang sana. Ngapain ngikutin Caca kesini? Mana outfitnya aneh banget lagi, pasti belum mandi. Euhh.." Caca menjauhkan diri dari Vian untuk mengejek pria itu.
"Gini-gini gue masih peduli sama bocil kaya lo, bukannya bersyukur udah gue jagain." Vian menonyor kepala Caca ke belakang. Bukan maksud tak ikhlas menjaga Caca, hanya kadang-kadang saja adiknya ini suka tidak tahu diri dan membuat Vian repot.
"Peduli kok lupa sama ulangtahun Caca? Tukang ojek aja ngucapin selamat ulangtahun buat Caca, masa Kak Vian enggak?" sindir Caca, kalau dipikir-pikir dia kecewa juga.
Vian nyaris gelagapan dengan yang satu ini. "Emang sengaja gue lupain, kenapa?" sungutnya mengelak. Padahal Vian memang benar-benar lupa.
"Jahat! Perhatiannya cuma karena takut sama Ayah doang, Kakak aslinya nggak peduli kan sama Caca? Sana jauh-jauh." Tangan Caca mengibas-ngibas di udara mengusir Vian.
"Bener-bener nggak tahu diri lo, Ca," Vian geleng-geleng kepala, bukan karena heran lagi dengan Caca, tapi speechless sebab Caca bisa menebak dengan begitu tepat. "Yaudah, selamat ulang tahun. Gue mau balik, nanti kabarin kalo pulang." Vian pamit.
Caca melongo menatap kepergiannya. "Gitu doang?" Kaki Caca menghentak lantai. "Kak Vian bener-bener sinting."
Salahkan Caca jika tiap tahun mengharapkan dan selalu berekspektasi lebih tentang yang namanya ulangtahun. Pasti endingnya akan tetap sama, tidak akan normal. Mungkin memang Caca tidak ditakdirkan untuk menikmati perayaan pertambahan usia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet Vanilla ✓
General FictionCOMPLETED| Juan dihadapkan oleh seorang bocah SMA saat menghentikan motornya di pinggir jalan. Namanya Caca, gadis yang saat itu seenak hati mengklaim Juan sebagai seorang tukang ojek. Pertemuan mereka tak berakhir sampai di situ, semuanya berlanjut...