Bab 7. Apel Yang Membusuk

6.3K 413 3
                                    

Bahkan apel yang ranum di atas pohon pun akan membusuk ketika terjatuh. 

Wita Gantara

.

.

.

Jika dulu dikagumi bak Dewi, sekarang aku tak peduli sama sekali dengan apapun. Tak akan ada yang kurang dariku. Beberapa hari sakit, hari ini aku memutuskan kembali masuk kampus. Bagaimanapun absenku tak boleh bolong lagi.

Masuk ke kampus semua masih tampak baik, tapi ketika aku melewati lorong fakultas Ekonomi, semua mata memandangku. Sebagai perempuan yang tak takut apapun, tentu saja aku balik menatap mereka hingga mereka membuang tatapan. Mungkin saja, pertengkaranku dengan Airin tempo hari membawa gosip murahan yang bertebar di kampus.

"Ku dengar Airin sampai masuk rumah sakit!"

"Ayo pergi, jangan sampai perempuan kasar itu membuat kita masuk rumah sakit."

Aku tak peduli, dengan anggun aku masuk ke ruangan kelas. Tak punya teman sudah biasa, sendiri juga sudah terbiasa.

Setelah mengikuti perkuliahan, aku menuju kantin fakultas, di sana bisa ku lihat Airin sedang tertawa bersama Bagas. Ku pikir datang ke sini adalah sebuah kesalahan, Airin memaksaku duduk bersama mereka, belum ku tolak, dia sudah menarikku duduk. Aku mengangkat sebelah alisku menatap tak suka dengan kelakuan Airin. Perempuan ini benar-benar tak habis cara untuk membuat aku kesal.

"Aku dengar dari Troy, kamu sakit?"

Aku mengerutkan kening menatap penuh ke arah Airin. Bagaimana bisa ia berhubungan dengan Troy.

"Kamu sakit Wi?" Suara kahwatir itu dari Bagas.

"Udah sembuh kok." Jawabku seadanya.

"Wita, aku mau minta maaf karena buat papa tampar kamu waktu itu."

"Dengar dia ditampar papanya."

"Waooow."

Bisik-bisik terdengar di belakang dan sekitar tempat duduk.

Aku mengepalkan tangan menahan emosi. Wajahku mencoba untuk tersenyum, memaksa senyum lebih tepatnya.

"Ai, ku pikir ini bukan time yang tepat. Bagaimana kalau aku traktir kalian berdua makan di luar." Ujar Bagas saat melihat tanganku mengepal dengan erat.

"Lo ngejek gue?" Aku tak peduli dengan Bagas yang ada di sebelahku.

Jika bisa ku lakukan, akan ku tampar wajah polos Airin.

"Maaf Wi, aku hanya merasa bersalah, susah untuk berbicara denganmu. Kamu terlalu membenciku. Aku sudah melarang papa untuk terlalu memperhatikanku, tapi-"

"Gak usah deh lo sok-sok minta maaf, lo sengaja biar semua orang menilai gue buruk?"

"Stop bicara kasar Wita. Airin berniat baik. Harusnya kamu bercermin, kenapa papa kamu sampai menampar kamu?" aku menatap Bagas denga kecewa. Pria yang menjadi teman kecil, pria seumuran Troy yang menjadi cinta pertamaku, terlalu memberi luka.

"Kenapa kak Bagas selalu belain Airin. Aku yang kakak kenal dahulu, tapi kenapa dia yang selalu kakak lindungi?"

Sejenak Bagas terdiam. Aku mengambil tas di atas meja lalu berlari pergi. Tak ada yang pernah membelaku. Semuanya selalu mengatakan jika aku perempuan egois, kasar dan emosian. Sebelum aku memecahkan bibir Airin, lebih baik aku pergi.

**

Menatap sejumlah uang yang Troy berikan, aku mendengus malas. Pria itu terlalu amat medit dan perhitungan. Ia memberikan satu lembar uang berwarna hijau untuk naik angkot. Lihat saja, setelah ini tak ada sisa lagi. Benar kata orang, menikah kalau belum mapan itu gak baik.

Nikah MudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang