25. Revenge (a)

119 39 1
                                        

"Terima kasih karena sudah bersedia mengikuti rencanaku, Paman, Bibi."

"Ah, tentu saja kami bersedia, Zemira. Bibi juga ingin melihat wajah ceria Atlas setelah dia merasa kesal karena mengira tidak bisa berkencan denganmu."

Zemira tergelak pelan, berpura-pura bahagia.

"Seharusnya kami yang menjemputmu, Zemira. Untuk apa repot-repot membayar taksi?"

"Kalau kita pergi dengan mobil Bibi, jika Atlas melihatnya, bisa-bisa dia langsung mengenali dan berhasil menebak bahwa kita datang untuk memberi kejutan."

Ibu Atlas mengangguk paham pada rencana Zemira, ia juga menatap calon menantunya dengan senang karena bersedia menyiapkan kue dah hadiah untuk Atlas. Gadis itu kembali terdiam, menatap jalanan yang ramai dengan perasaan tidak terdeskripsikan.

"Nanti biar Paman saja yang membayar taksinya, Zemira."

"Tidak perlu, Paman. Aku sudah membayarnya di awal. Aku sudah berlangganan menggunakan jasanya untuk ke mana-mana, jadi aku terkadang memberikan uang lewat rekening."

Ketika Zemira terpuruk di hari ia mengetahui pengkhianatan itu, si sopir-lah satu-satunya orang yang bersedia menanyakan kabar Zemira. Tidak hanya itu, Zemira juga masih ingat bahwa pria yang sudah berumur lebih dari 50 tahun itu sempat menawarkan diri menunggu sampai Zemira selesai menenangkan pikiran. Untuk semua kebaikan si sopir, Zemira jadi lebih sering melebihkan bayaran seharusnya, bahkan sampai meminta nomor rekening demi antisipasi saat Zemira tidak membawa uang tunai.

Rasa terima kasih dan berharganya ia ketika sang sopir bertanya keadaannya saat itulah yang membuat Zemira berbuat lebih baik lagi.

"Oh, begitu. Baiklah. Bagaimana rencana pernikahan kalian? Apakah sudah mulai mencari informasi gedung dan lain-lainnya, Zemira?"

Zemira sempat tersentak selama beberapa detik atas pertanyaan ayah Atlas. Ia memandang punggung pria yang duduk di bangku depan dengan sedikit rasa bersalah. Beberapa bulan sebelum ini, orang tua Atlas sangat senang begitu mendengar Zemira setuju atas lamaran Atlas. Mereka juga sudah menyanggupi akan membantu dalam semua hal untuk pernikahan Zemira nanti, termasuk ikut membangun rumah itu. Selama ini hubungan Zemira dan kedua orang tua Atlas tidaklah buruk. Hal itulah yang sedikit Zemira sayangkan karena sebentar lagi ia harus mempertontonkan sifat putra mereka yang sebenarnya dan membuat pasangan suami istri itu terluka.

"Kami belum membahasnya lagi, Paman. Aku rasa kami perlu beberapa waktu lagi untuk mengumpulkan uang."

"Paman sudah bilang, jangan pikirkan tentang itu. Paman dan bibimu punya cukup simpanan jika kalian ingin segera menikah. Walau tidak mewah, setidaknya kami bisa memberikanmu pernikahan yang layak."

Tanpa terasa air mata Zemira jatuh. Ia terharu sekaligus sedih karena harus mengecewakan hati yang tidak bersalah, begitu juga dengan ia yang merasa tidak beruntung karena gagal mendapatkan mertua sebaik itu.

"Astaga. Kau sampai menangis, Zemira. Keringkan wajahmu. Jangan sampai riasanmu berantakan dan Atlas menuduh kami sudah berbuat sesuatu padamu."

Mendengar ucapan wanita di sampingnya, Zemira berusaha menghentikan air matanya. Ia juga menerima tisu dari sang bibi dan berusaha menenangkan gejolak dalam dirinya. Rasa haus akan kasih sayang orang tua membuat Zemira sensitif pada banyak hal. Ia sangat senang diterima oleh orang tua Atlas, tetapi di sisi lain ia tahu tidak akan bisa menghabiskan waktu lagi dengan orang-orang yang ia panggil paman dan bibi.

"Maaf. Aku terbawa suasana. Paman dan Bibi sangat baik padaku. Betapa beruntungnya aku jika memiliki orang tua seperti kalian."

"Sayang, kami sudah menjadi orang tuamu. Tidak perlu sungkan, ya?"

Rare CinderellaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang