3. Kamu Kaya, Tapi Nggak Kaya

18.9K 2.8K 52
                                    

Tamat riwayatku. Tamat! Violet sudah musnah dan aku terpenjara dalam raganya. Bagaimana ini? Kehidupanku memang suram, tetapi mengurus seorang putra dan suami yang tidak menginginkanku merupakan cobaan hidup dalam level berbeda! Oh apa tidak bisa aku masuk ke dalam salah satu novel silat saja? Lupakan, jadi kerikil di sini jauh lebih gampang daripada menjalani hidup sebagai Violet. Aku kaya, tapi tidak kaya! HELL NO!

“Mama, mau aku ambilkan makanan?”

Bocah satu ini bahkan tidak tahu bahwa ibunya sudah lenyap. Aku bahkan berani taruhan kalau Violet tidak peduli sedikit pun terhadap Damian. Satu-satunya yang ia pedulikan hanya Tristan. Tirstan seorang. Hidup tristan! All hail Lord Tristan!

Aku menjulurkan tangan dan membelai wajah Damian. “Kamu belum makan, ya?”

Damian menggeleng. “Kalau Mama belum makan, aku juga!”

Pertama-tama marilah kita panjatkan-eh, pertama-tama aku harus mengisi perut dulu. Perut kosong bisa menghambat kinerja otak. Berhubung aku karatan dalam hal menggunakan otak, maka ada baiknya isi perut dulu sebelum memikirkan rencana selanjutnya.

Ketika menjejakkan kaki di lantai, selama beberapa saat aku dilanda pening. Namun, perlahan aku bisa menguasai diri.

Aku menjulurkan tangan kepada Damian yang berdiri tidak jauh dariku. “Mau gandengan tangan? Sama-sama?”

Kedua mata Damian pun berbinar. Tanpa ragu dia mengangguk. “Mama!”

Kami keluar dari kamar dan langsung menuju dapur. Abaikan mengenai koridor berhias barang mahal dan segenap benda-benda yang harganya mungkin akan membuat jiwaku menangis.

Pelayan? Hanya ada beberapa asisten rumah tangga yang mengurus kebersihan. Bisa jadi Tristan sengaja mengurangi jumlah pekerja. Lagi pula, cewek yang ingin ia nikahi itu Vivian, bukan Violet. Pasti berat beban pikirannya, si Tristan itu, hingga harus menjalani kehidupan bersama seseorang yang tidak ia cintai.

Dapur dalam keadaan sepi. Damian bergegas duduk. Aku menyingsingkan lengan dan mulai mencari apa pun yang bisa kumakan. Setelah menimbang beberapa saat, maka kuputuskan untuk membuat tumis kangkung dan telur dadar saja. Itu mudah!

Dih dasar tetangga dan keluarga nyinyir. Aku bisa masak! Hanya saja menunya sederhana. Mana paham aku ayam rica-rica, cumi balado, atau satai bumbu kacang? Itu mahal! Gajiku haruslah diakomodasikan sesuai dengan kebutuhan. Oh iya, aku lupa. Hahaha. Gajiku mengalir begitu saja ke tangan orangtuaku.

“Kamu jangan sampai durhaka,” kata ibuku. “Kami membesarkanmu dengan uang yang jumlahnya nggak sedikit. Mau uang satu milyar pun nggak bisa membalas budi kami.”

Rasa-rasanya aku hanya disamakan dengan investasi saja. Yaaaah begitulah hidupku. Sekarang mereka hanya akan menerima jasadku saja dan harus memikirkan metode lain dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder, dan tersier!

Damian langsung menandaskan nasi beserta lauk yang aku berikan. Lantaran meja terlalu tinggi, maka dia memangku piring dan sama sekali tidak meminta tolong kepadaku agar disuapi. Padahal biasanya anak umur sepantaran Damian menuntut perhatian dan kasih sayang, tetapi bocah yang satu ini berbeda. Hmmm jangan-jangan....

“Ma, aku habiskan semuanya!” serunya sembari memamerkan piring yang tidak ada satu butir pun nasi. “Aku hebat, ‘kan? Aku anak yang baik, ‘kan?”

“Damian, kamu selalu menjadi anak baik di mata Mama,” pujiku sambil mengusap kepala Damian. “Kalau kamu nggak suka masakan Mama, bilang ya?”

Barangkali pujian semacam ini, memberi kata-kata baik, kepada anak adalah hal biasa—lumrah. Namun, aku tidak pernah mendapatkan perlakuan semacam ini dari orangtuaku. Mereka hanya memuji dan menganggapku baik ketika disodorkan berlembar uang. Tanpa itu, tanpa uang, aku bukan apa-apa di hadapan mereka. Betapa aku merindukan kehangatan serta lapar akan pengakuan dari mereka, orangtuaku. Berbagai cara kutempuh sekadar mendengar ucapan sayang, tapi harapanku kandas begitu saja.

Oleh karena itu, aku tidak ingin bocah ini, Damian, mengalami kehidupan serupa milikku. Setidaknya aku bisa menolongnya meraih sedikit masa kecil menyenangankan.

Haha itu kalau Tristan tidak menceraikanku dan kembali ke pelukan Vivian! Argh permasalahan yang satu ini harus diselesaikan sesegera mungkin!

Damian menggeleng. “Enggak kok. Masakan Mama enak!” Kemudian dia tersipu. “Mama, aku suka! Ini pertama kali aku makan masakan Mama.”

‘Dasar Violet!’ makiku dalam hati. ‘Mengurus anak pun dia enggan! Hei, daripada mengejar Tristan lebih baik mencari cinta yang lain!’

Oke, sementara ini aku akan berdiam diri. Informasi hanya sebatas pemberian dari ingatan Violet saja. Aku perlu rencana matang. Jangan sampai aku salah langkah dan terjebak permasalahan baru.

“Ma, boleh tambah?”

Rencana pertama, membuat Damian kenyang.

***

Sampai malam menjelang aku belum bertemu Tristan. Kamar Violet dan Tristan terpisah. Jadi, SEBENARNYA AKU NGGAK PEDULI DIA PULANG ATAU HURA-HURA DI LUAR SANA! Justru aku merasa bersyukur tidak perlu berpapasan dengan Tristan. UYE!

Bahkan sampai lima hari lebih si Tristan ini belum juga menampakkan batang hidungnya. Bisa saja sih aku menghubungi Tristan melalui telepon, but buat apa? Nomor yang Tristan berikan pun bukan nomor pribadinya, melainkan milik kantor dan asisten kepercayaannya. Dalam ingatan Violet, dia berusaha mengemis agar Tristan lekas pulang. Ya tentu saja, tidak digubris alias bodo amat!

Aku? Biarkan saja Tristan berkeliaran di luar rumah. Aku hanya ingin fokus mengurus Damian dan MEMPERKAYA DIRI! Baru aku ketahui bahwa Violet tidak memiliki pekerjaan. Padahal dia bisa saja menjual lukisan atau meneruskan sekolah, tapi tidak. Dia tidak melakukannya. Oh dan tabungannya....

“Kamu kaya, tapi nggak kaya!” makiku pada udara kosong dan berandai itu adalah Violet.

Sembari memutar otak, ingatlah aku mengenai sederet perhiasan pemberian Tristan. Harganya wow dan aku tidak butuh. Setelah tersenyum selama beberapa menit seperti Wiro Sableng yang berhasil menemukan jurus sakti, maka aku pun memutuskan menjual kembali perhiasan tersebut.

Mulai! Pertama, aku harus berdandan secantik mungkin. Padahal Violet tidak jelek. Dia cantik! Daripada diriku yang gelap dan wajahnya mirip karaktek kakak tiri Upik Abu, Violet memiliki paras melankolis yang membuatmu ingin melindunginya. Rambut hitam panjang, mata hijau seperti zamrud. Oh aku tidak akan menyia-nyiakan aset ini!

Setelah memakai pelembap, tabir surya, dan memulas pemerah bibir, segera saja aku memesan taksi. Kebetulan Damian masih di sekolah dan aku tidak ingin sopir—si anak buah Tristan—memata-mataiku. Lebih baik memanfaatkan taksi daripada harus berhadapan dengan Tristan.

Aku juga sudah menghubungi toko perhiasan yang bersangkutan. Sekarang hanya perlu bertemu dan menerima uang! Huhuhuhu aku akan mengumpulkan uang sebanyak yang bisa kuperoleh dari menjual perhiasan Violet. Lalu, setelah itu menemukan pekerjaan dan KATAKAN BYE KEPADA TRISTAN!

Hidup mandiri, yuhuuuuuuuu aku datang!

Selesai ditulis pada 11 Nopember 2022.

Ehehehehehe akhirnya bisa update Violet! Yang lain nunggu bentar, yaaaa. Saya berusaha nyicil kok. ehehehe. I love you, teman-teman.

Salam hangat,

G.C
P.S: Kucing saya si Milky mulai terobsesi dengan ayam. Nggak dimangsa sih, tapi setiap ada ayam yang masuk taman, langsung dikejar dan diusir! Wkwkwkwk. Padahal saya inginnya dia ngejar tikus dan cicak! Hiks.

Violet is BLUE (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang