Usai penggambilan gambar aku memilih mampir ke rumah Zack, papa tiri Violet. Berhubung perceraianku sudah beres dan tampaknya tidak masalah memperbaiki hubungan antara diriku, sebagai penghuni raga Violet, dengan orangtuanya. Tidak ada kata terlambat untuk menyambut kebahagiaan dan kedamaian. Catat, ya? Tidak ada kata terlambat.
Pengelihatan yang diberikan oleh memori Violet kepadaku cukup mengesankan terkait dirinya dengan Felicia, ibu kandung Violet. Tidak seperti Monica yang gemar berkoar buruk mengenai Violet dan mengutamakan Vivian sebagai menantu idaman, Felicia justru terkesan lebih lembut daripada Monica. Dia berusaha mendekati Vivian, walau selalu mendapat penolakan, dan bersikap baik supaya tidak menyakiti perasaan Zack. Aku tidak mungkin sekuat Felicia ketika menghadapi sikap dingin Vivian. Ya mau bagaimana lagi bila ada yang membenciku hanya karena “keberadaanku”, “penampikanku”, maupun “latar belakang”. Tidak semua orang memiliki empati. Bagiku Felicia memang terbaik dari yang terbaik.
Bagaimana aku bisa menyimpulkan seperti itu?
Gampang! Felicia sebenarnya beberapa kali berusaha membujuk Violet agar tidak menikah dengan Tristan. “Vi, jangan nikahi pria yang tidak bisa mencintaimu.” Bagus, ‘kan? Saran sehat! Namun, pada waktu itu Violet telah teracuni oleh impian bisa bersatu dengan Tristan; membangun mahligai pernikahan, bersama selamanya, dan berusaha memberi cinta. (Sungguh dedikasi mengagumkan.) Pada akhirnya Felicia menyerah dan membiarkan Violet bersama kekasih idaman.
“Pilihan buruk,” kataku kepada diri sendiri.
Sekarang aku tidak ingin mengikuti jejak Violet. Sebagai orang yang terlahir di lingkungan tidak sehat lengkap dengan tetangga julid dan saudara nyinyir, menjadi Violet merupakan anugerah sekaligus kebahagiaan. Aku bisa memiliki anak semanis Damian dan bertemu Liam (sambil berharap dia jadi suamiku).
Sempurna!
♪♪♪
Taksi menurunkanku tepat di depan gerbang megah berwarna emas. Seseorang, pelayan mungkin, bergegas mendorong gerbang dan mempersilakanku lewat. Berhubung sebelum tiba telah kukirim pesan kepada Zack mengenai kunjunganku, maka sikap pelayan tadi tidaklah aneh.
Aku sempat mengira akan bertemu pelayan terlebih dahulu sebelum menemui orangtua Violet, tetapi salah. Aku salah. Ternyata Zack sendirilah yang langsung datang menyambutku. Dia bahkan tampak riang seolah tengah menemui salah satu anaknya yang telah lama hilang saja.
“Violet!” teriaknya dengan nada suara yang terdengar gembira. “Akhirnya kamu datang juga.”
Pelukan hangat dan nyaman menyelimutiku. Selama sesaat saja tubuhku kaku karena tidak terbiasa diperlakukan sebagai manusia. Baik ayah maupun ibuku dulu, tidak satu pun di antara mereka yang menyiramiku dengan kasih sayang semacam ini, seperti yang Zack berikan. Mereka menganggap hal-hal seperti pelukan, bergandeng tangan, atau memuji usaha anak dalam melakukan tugas-tugas ringan sebagai sebentuk kesia-siaan belaka—tidak penting.
“Yang penting kamu dapat kerja dan bisa beli beras. Orang miskin nggak perlu mikir ketinggian.”
Begitulah yang selalu aku dapatkan. Sebuah pengingat bahwa aku miskin, bermimpi itu tidak penting, dan memenuhi tuntutan keluargalah yang utama—selain itu percuma.
“Maaf, Pa,” kataku sembari mencoba meredakan serangan emosi yang meluap dalam diriku, “sekarang aku ada di sini, ‘kan?”
Zack menarik diri, senyum masih terpasang sempurna di wajah, dan dia mengamatiku. “Mamamu sengaja memasak makanan kesukaanmu. Siang ini makan di sini saja, ya?”
Aku mengangguk. Setuju.
“Liam nanti juga mampir,” ujar Zack. Perkataannya mengenai Liam membuat pipiku merona. Oh jantungku, bertahanlah. “Mamamu yang mengundang.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...