Tristan membujuk diriku agar bersedia menemaninya ke pesta ulang tahun Zack.
Tentu saja aku menolak.
Mudah saja bagiku melontarkan argumen mengenai telah bertemu Zack dan meminta izin tidak menghadiri pesta. Lagi pula, pada malam ulang tahun Zack aku berencana menayangkan rekaman kegiatan melukisku di internet. Posisi Tristan tidak lebih penting daripada para penontonku. Mereka, para penonton, memberiku motivasi dalam membuat karya serta memikirkan rencana masa depan.
“Violet, kenapa kamu begitu keras kepala?” Tristan dalam balutan setelan mahal mengekoriku sampai ke kamar Damian. Aku tidak perlu cemas andai dia mencoba menyerangku karena ada Damian yang kini duduk manis di ranjang dan tengah memeluk bantal. “Bukankah dulu kamu selalu berharap bisa datang berdua ke acara Papa?”
“Dulu,” jawabku tanpa satu kali pun menengok ke Tristan, “sekarang beda.”
Kuletakkan laptop di meja, mulai duduk manis, dan berharap Tristan cepat pergi.
“Sudahi saja pertengkaran ini,” Tristan menawar. Dia mengabaikan keluhanku dan langsung menyentuh kedua bahuku. Bahkan kain yang menyelimuti kulitku pun tidak ampuh melindungiku dari sergapan rasa jijik. “Ayo kita pergi.”
Kutepis tangan Tristan, mengempaskan jemari jahanam yang berani menginvasi kedamaianku, dan bergegas duduk di dekat Damian.
“Aku tidak mau,” desisku sembari meraih Damian dan merapatkannya dalam pelukan. Sungguh luar biasa, pikirku. Pada diri bocah semungil ini justru kutemukan kedamaian dan keamanan. “Kamu bisa pergi sendirian.”
Damian balas memelukku. Tangan-tangan mungil mulai mengirim kehangatan guna mengusir rasa takut yang mulai mekar dalam jiwaku. Kupikir Damian akan menangis karena biasanya anak kecil sangat sensitif bila berkaitan dengan suasana rumah tangga yang tengah di ujung tanduk. Namun, Damian justru menanggapi sengketa yang terjadi di hadapan matanya dengan cara lain. Dia menepuk pelan pipiku seolah ingin mengatakan bahwa aku aman di sini. Tidak apa-apa.
“Kamu tidak bisa mangkir begitu saja,” Tristan menegur. “Papa pasti senang begitu melihat kita berdua harmonis.”
Ingin sekali kugigit dan kujambak Tristan! ARGH GUK GUK GUK!
“Pa,” Damian memanggil, “tolong jangan ganggu Mama.”
Sekarang Damian mengarahkan tatapannya kepada Tristan. Sama sekali tidak gentar ataupun cemas. Benar-benar berani.
“Mama nggak suka,” Damian melanjutkan. “Kasihan.”
Sejenak Tristan diam seribu bahasa.
Tatapan Tristan tertuju kepada Damian. Barangkali dia pun terkejut bahwa putranya bisa menyampaikan respons semacam itu—membela ibunya daripada ayahnya.
Akan tetapi, kebekuan itu hanya berlangsung selama sesaat saja. Tristan kembali menguasai diri. “Damian, Papa hanya ingin mengajak Mama berkumpul bersama Kakek.”
“Tapi, kan, Mama enggak mau,” balas Damian tidak kalah sengit. Dia bersidekap. Aku yakin ekspresi di wajahnya pastilah campuran antara menggemaskan, imut, dan keteguhan. “Nggak boleh. Mama janji menemaniku. Lagi pula, apa Papa tega membuat Mama menangis?”
KYAAAA! Sungguh dedikasi luar biasa. Aku ingin memeluk, oh memang sudah kupeluk karena gemas dengan Damian, dan menempelkan wajah ke puncak kepala Damian. Walau badai datang, kesetiaan dan cintaku akan tetap utuh bagi Damian. Sama seperti tembok di Tiongkok!
“Papa nggak punya niat semacam itu,” Tristan mengelak tuduhan Damian. “Hanya saja orang dewasa nggak baik datang sendirian ke acara ulang tahun Kakek.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...