1. Pedasnya Gibahan Emak-Emak

35.2K 3K 177
                                    

Tante Hadi, istri Bapak Hadi, memintaku bergabung ke dalam acara kirim doa untuk salah satu leluhur. Sebagai anak muda yang tidak memiliki kewenangan dalam menolak perintah orang tua, maka aku TERPAKSA MENYANGGUPI. Omong-omong, kata “meminta” tidak benar seratus persen dalam menjabarkan serangkaian tindak pemaksaan terhadap seorang anak muda yang tidak berbakat dalam memasak agar menceburkan diri ke kubangan kaum gibah.

... dan sekarang aku menyesal.

“Iya, Puspa sedari dulu memang anaknya penurut dan nggak mau menyusahkan orangtua,” Om Hadi alias Bapak Hadi mulai acara pidato, seperti biasa, kepada sejumlah ibu-ibu yang ikut serta dalam acara memasak. Dengan bangga Om Hadi duduk di kursi dan mengocehkan beragam kedaulatan sekaligus keberhasilan putri ketiganya. “Dia kuliah di Bali. Ambil jurusan farmasi.”

Ada sebuah tradisi. Budaya mendoakan arwah leluhur melalui acara kirim doa dan para tamu akan diberi sajian lengkap dengan makanan untuk dibawa pulang. Acara diselenggarakan nanti malam. Aku dan beberapa tetangga ikut bergabung membantu Tante Hadi memasak.

Sial bagiku. Sial.

“Nggak seperti gadis lain,” Om Hadi melanjutkan. “Puspa rajin bersih-bersih. Nggak seperti Rara. Dia itu nggak ada apa-apanya. Ra, memangnya kamu nggak bisa mencontoh Puspa? Lihat, dia mandiri dan nggak pernah mengecewakan keluarga.”

Iya, Rara itu adalah aku.

Untung saat ini aku sedang mengupas bawang merah sehingga omongan Om Hadi takkan kumasukkan ke dalam hati (untuk sementara). Masuk telinga kanan, keluar melalui telinga kiri.

“Ra,” panggil salah satu ibu-ibu yang bertanggung jawab memotong wortel, “kamu kerjanya lelet. Perempuan kok nggak bisa cekatan? Apa kamu nggak pernah masak?”

“Biasa,” sahut salah satu ibu-ibu yang sedang memindahkan nasi dari kukusan ke wadah lain, “nggak seperti Puspa, Rara sih memang sukanya makan tapi malas masak. Jangan suruh Rara masak air, yang ada pancinya gosong.”

Ingin kutulikan pendengaranku agar tidak perlu merasa tertusuk berkali-kali. Namun, doa jahat akan membawa hal buruk. Sekarang aku hanya bisa berharap seseorang akan menyuruhku melakukan tugas yang tidak mewajibkanku berada di dapur. Apa pun! Aku bahkan rela mengelap jendela ataupun mengepel ruang tamu. Itu jauh lebih baik daripada terjebak di tengah sekelompok orang yang sama sekali tidak memiliki etika dalam berkomentar.

“Ra, kamu sekarang kerja di mana?” tanya salah satu kerabat jauh Tante Hadi. “Kenapa nggak coba ikut CPNS? Biar kelihatan kerja.”

Sialan! Aku bekerja! Kerja! Hanya saja jenis pekerjaanku tidak mengharuskanku berkeliaran di luar rumah.

“Eh Puspa di Bali pernah dikira orang Jepang lho,” Tante Hadi mulai mengarahkan topik pembicaraan kepada Puspa. “Mungkin karena putriku putih, cakep, mirip orang Jepang sana, ya?”

“Iya, si Puspa memang pantas disamakan dengan orang Jepang.”

“Ra, kamu tiru Puspa. Dia cuci baju sendiri di tengah kesibukan,” Om Hadi melambungkan Puspa.

Cuci baju? Sendiri? Dia menggunakan mesin cuci. Mesin cucilah yang berjasa dalam membersihkan noda dan mengusir bau apak dari kain. Kenapa aku harus diseret dan dijadikan sebagai pembanding? Perlukah validasi? Halo, aku cuci baju menggunakan cara tradisional! Pakai tangan! Mengucek-kucek-kucek-kucek!

“Puspa kemarin dilamar pegawai bank,” kerabat Tante Hadi menambahkan tema gunjingan indah terbaru. “Kamu kapan nyusul, Ra? Jangan sampai keburu jadi perawan kering. Eh, kamu mandi nggak, sih? Kok kelihatan kucel?”

“Rara sih memang item,” gurau salah satu ibu-ibu. “Mirip pantat panci.”

Cukup sudah.

Lekas kuletakkan pisau dan menghentikan aksi mengupas saudari tiri Bawang Putih.

Violet is BLUE (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang