28. Meninggalkan Tristan

12.7K 1.7K 24
                                    

Kadang aku takut berharap hidup bisa bahagia. Seolah ada firasat menyatakan bahwa apabila terlalu memaksakan diri mengejar kebahagiaan, maka sesuatu yang buruk akan jatuh ke pangkuanku. Pertanda buruk. Mimpi-mimpi menyedihkan. Perasaan terlunta, terpinggirkan, dan terasing. Seolah aku adalah makhluk antah-berantah dari suatu negeri terpenjara dari kemajuan dunia modern, terlupakan. 

Akan tetapi, terjadi perubahan besar semenjak Damian datang dalam hidup milikku yang sempit dan menjenuhkan. Tetes air menghujani hatiku yang kerontang, memberiku alasan baik bertahan hidup, dan menghadapi realitas. Ada kebahagiaan maupun tidak, itu bukan perkara penting. Satu-satunya visi dalam diriku ialah, melindungi Damian. Hanya dia. Selalu dia.

Oleh karena itu, begitu Liam berhasil mendapat hunian baru (dengan harga fantastis pula, jenis harga yang membuatku muntah darah) rencana pindah pun mulai. Pertama-tama aku memindah beberapa barang, terutama surat berharga, dengan cara mencicil. Iya sih Liam ataupun Zack bisa saja membelikan barang baru, tapi rasanya terlalu berlebihan. Kamera, laptop, perkakas lukis, dan pakaianku masih bagus dan layak pakai. Apa gunanya membeli barang baru sekadar demi kata “gampang”?

Lanjut ke urusan pindah sekolah. Di tempat baru, tempat tinggalku, ada sekolah menarik yang sesuai dengan kebutuhanku. Jaga-jaga andai Tristan mengamuk dan memaksaku kembali ataupun menolak perceraian hingga berujung pertikaian.

Hidup memang pelik. Alangkah baiknya bila jalan cerita perjuangku jangan terlalu mengerikan. Aku lelah dengan drama. Cukup sinetron saja, jangan hidupku diberi bumbu picisan. Kecuali ya, KECUALI, drama percintaan antara aku dan Liam. Nah untuk yang satu itu sih aku tidak keberatan. Dengan senang hati aku menerima cerita romantis yang menjadikan diriku dan Liam sebagai pemeran utama. Tentu saja akhirnya harus bahagia. Ya keterlaluan dong andai aku harus menjalani tragedi lainnya? Pengalaman hidup sebagai budak kapitalis dan korban ocehan emak-emak sudah cukup membuatku bermimpi buruk dikejar Rodan. NGGAK ENAK!

Oke, kembali ke rencana memulai hidup baru. Syalala~

Monica “masih” rajin datang berkunjung. Kehadirannya justru mempermudah diriku melaksanakan rencana memindahkan barang-barang pribadi. Omong-omong, aku bercakap empat mata dengan Monica perkara kepindahan. Kepada Monica aku memohon jangan sampai Tristan tahu.

“Baguslah,” kata Monica, nada suaranya terdengar puas, “dengan begitu Tristan bisa menikahi Vivian.”

Sudah kuduga, Vivian tetap nomor satu. Tidak sekalian saja Monica mencalonkan Vivian sebagai presiden. Aku yakin Monica akan langsung mendaftarkan diri sebagai kader.

“Kamu harus cepat enyah dari hadapan putraku!” Monica meneriakkan peringatan. “Semakin cepat, makin bagus. Aku muak melihat dirimu dan bocah ingusan itu. Kalian seperti benalu, memalukan.”

Padahal aku sudah berusaha memohon cerai kepada Tristan, tetapi permintaanku tidak digubris olehnya. Sia-sia. Monica sih enak tinggal blablabla wuuuf wuuuf, tidak tahu saja dia aku berjuang seperti penagih utang—siang malam berusaha mendapatkan ACC dari Tristan. “Mas, kapan kita cerai?” Begitu.

Ah bodoh deh dengan mereka, Tristan dan Monica.

***

Semua barangku pun tidak ada yang tersisa di kediaman Tristan. Bahkan urusan pindah sekolah pun dia tidak tahu. (Aku curiga dia memang tidak peduli dengan perkembangan Damian. Dasar buluk!)

Yang terjadi, terjadilah.

Aku dan Damian resmi meninggalkan kehidupan Tristan. Segala perkara perceraian telah diurus oleh Liam dan Zack. Aku hanya perlu duduk manis.

“Damian, apa kamu nggak kangen dengan Papa?” tanyaku pada suatu Minggu, tepat di hari ke sekian kami pindah. Kuletakkan panekuk yang baru matang ke piring dan menghiasnya dengan sirop manis. “Jujur, ya? Mama enggak akan marah kok.”

Violet is BLUE (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang