Liam membawa beberapa lukisan terkecil yang bisa dimasukkan ke dalam mobil. Sungguh aneh Tristan tidak satu kali pun memamerkan keberadaannya di hadapan kami. Namun, baguslah. Aku tidak butuh eksistensi nyamuk ngang nging ngung pengganggu. Cukup Liam saja. Yang lain, bye (kecuali Damian. Dia diperbolehkan ikut serta).
Malamnya aku memilih makan malam di dapur; masak sendiri, makan bersama Damian, dan membiarkan perengutan pelayan yang memandangi tumpukan alat masak.
Lantaran aku kelewat parno, maka kuputuskan meluncur ke kamar Damian dan tidur bersamanya sampai menjelang pagi. Bahkan sarapan pun sengaja kusiapkan sendiri, untukku dan Damian, agar tidak perlu bertemu Tristan.
Enak saja! Hatiku masih sakit, berdarah, dan sepertinya kena infeksi. Akibat Tristan yang main seruduk, sekarang aku selalu membawa parfum mungil di saku baju. Jaga-jaga andai dia ingin berbuat kotor.
Ulang tahun Zack Gordavid tinggal menghitung hari. Bisa saja aku bergabung dengan Tristan dan pura-pura menjadi istri baik hati dan membiarkan perbuatannya lewat begitu saja.
Oh tidak bisa semudah itu. Aku memiliki rencana lain.
Alih-alih datang tepat pada hari H, aku memilih menemui Zack Gordavid di kantornya. Violet menyimpan nomor kontak Zack. Usai mengirim pesan singkat kepada Zack (karena aku tidak yakin hubungan antara Violet dan ayah tirinya), aku menanti balasan.
KEJUTAN! Zack menelepon dan menyuruhku datang ke kantor kapan pun aku mau.
Tanpa membuang waktu, langsung saja aku memesan taksi. Semuanya kulakukan dengan terburu-buru karena takut Tristan muncul dan menggagalkan usahaku.
Begitu sampai di kantor, aku mendatangi resepsionis. Wanita bergincu merah itu pun menghubungi seseorang dan KEJUTAN LAGI Zack Gordavid yang menemuiku secara langsung. Andai tanganku sedang tidak memegang kotak berisi pembatas buku yang susah payah dibuat olehku dan Damian, mungkin aku akan langsung lemas dan pingsan.
“Violet, kenapa kamu baru sekarang mau menemui Papa?”
Zack, walau sudah berumur, memiliki bentuk tubuh tegap dan sehat. Tidak ada lipatan daging tambahan, bahkan aku curiga dia mampu bertanding tenis melawan orang muda. Adapun tanda-tanda penuaan terjadi pada rambutnya; semua memutih sempurna.
“Papa, maafkan aku.”
Berhubung Violet hobi mengoleksi gaun (semua gaun dalam beragam bentuk dan warna) maka, aku harus akui itu cukup membantu menciptakan kesan lembut dalam diriku. (Aslinya? Jangan ditanya. Mirip ayam kerasukan reog.)
“Omong kosong,” kata Zack sembari memelukku dengan penuh kasih sayang, “Papa pasti selalu senang dengan kehadiranmu. Apa kamu sudah sarapan? Oh atau kita bisa makan di suatu tempat?” Sekarang dia melepaskan pelukan, tapi senyum masih saja lekat di wajahnya. “Jangan bilang kamu seperti Vivian, ya? Nggak suka ngemil.”
“Oke,” sahutku dengan hati berbunga-bunga, “kita bisa makan sesuatu yang manis atau terserah Papa deh.”
Kami pun naik mobil, meninggalkan kantor, dan menuju salah satu kafe yang terkenal dengan aneka cake gurih dan manis.
Aku memesan pai apel, sementara Zack memilih kue lemon. Kami berdua memilih kopi pahit sebagai pendamping.
“Pa, selamat ulang tahun,” kataku sambil meletakkan kotak berisi pembatas buku. Ada sih penyangga buku, tapi pilihan itu kucoret. Tanaman pun kucoret. Capek. Dua benda itu berat! “Semoga Papa suka, ya?”
Zack meletakkan kotak di pangkuan dan membukanya. Dia terdiam sejenak. Matanya mengamati isi kotak. Sempat aku cemas Zack tidak menyukai ideku, tapi perlahan senyum mekar di wajahnya. “Wah kamu memang berbakat,” pujinya seraya mengagumi sebuah pembatas buku yang kubentuk menyerupai kucing hitam tengah menggigit buku. “Persis omongan Liam.”
Aku memotong pai menggunakan garpu, menyuapkannya ke mulut, lalu mengunyah. Aroma kayu manis dan gula membuatku terbuai. Ketegangan sedikit mengendur. Sungguh nikmat.
“Violet, apa kamu bermaksud tidak datang ke pesta ulang tahun Papa?”
Tepat sekali.
“Maaf, Pa. Aku ingin menemani Damian di rumah. Tristan bisa mewakili kami berdua. Oh ya, Pa! Aku, kan, bisa mampir kapan pun Papa mau. Lagi pula, di pesta nanti aku pasti kepikiran Damian. Nggak tenang.”
“Baiklah, Papa bisa mengerti. Damian masih kecil dan nggak baik membiasakan titip-menitip anak ke pengasuh.”
“Iya, Pa. Mulai sekarang aku ingin berusaha membesarkan Damian.”
“Apa Tristan mengatakan sesuatu mengenai ... hal yang tidak menyenangkan? Atau, dia sering mengabaikanmu? Violet, Papa nggak keberatan kamu curhat ke Papa. Katakan saja.”
Aku ingin berkata, “Pa, tolong bantu aku bercerai.” Namun, itu tidak bisa kukatakan. Pertama, ada acara ulang tahun. Bisa-bisa sepanjang acara nanti Zack cemberut dan ingin menendang Tristan. (Bagus sih. Cocok.) Kedua, aku harus bersabar dan menanti waktu yang tepat. Oh hartaku belum menumpuk. Damian masih butuh sekolah, les, dan....
Hmmm ternyata membesarkan anak itu tidak cukup kasih sayang saja. Ada sederet kebutuhan yang perlu orangtua penuhi!
Hahaha berbanding terbalik dengan cara orangtuaku membesarkan diriku dulu. Setiap kali minta uang untuk bayar LKS ataupun fotokopi, maka pasti ucapan semacam ini muncul:
“Nggak punya uang! Kamu bisa mengerti kesulitan orangtua, enggak?”
“Uang mulu! Kamu pasti boros, ya!”
“Entar dulu. Listrik belum bayar.”
Alhasil sebelum ulangan pastilah aku harus antre kartu izin mengikuti ujian.
Kenangan asam yang tidak menyenangkan.
“Pa,” panggilku mengusir kenangan buruk, “aku ingin mengasah kemampuanku. Liam bilang belajar tidak mengenal umur ... jadi, emmm bolehkah?”
“Kamu ingin kuliah?”
Aku menggeleng. “Enggak sekarang. Nanti. Setelah Damian cukup besar dan tidak terlalu membutuhkanku.”
Zack menampilkan cengiran riang. “Damian akan selalu membutuhkanmu. Seorang anak pasti selalu butuh orangtuanya.”
‘Beda denganku, Om,’ balasku dalam hati. ‘Orangtuaku nggak butuh aku. Butuhnya uangku. Ada uang Mami Papi sayang, nggak ada uang aku ditendang.’
“Papa nggak tahu alasanmu menunda pendidikan,” Zack melanjutkan. “Namun, Papa akan hargai keputusanmu. Namun, Violet. Apa kamu baik-baik saja? Maksud Papa, apa Tristan memperlakukanmu dengan baik?”
AAAAA kenangan bersama Tristan kembali mampir. Kenangan laknat pula! Aku perlu menyucikan mata, tubuh, dan jiwaku! “Emmmm,” gumamku sembari mengedikkan bahu. Lekas kutandaskan sisa pai dan berharap Zack tidak cukup tajam dalam mengendus kebohonganku.
“Violet, Papa ada di sini. Kamu boleh minta tolong ke Papa.”
Aku mengangguk. Tidak mampu memberi komentar profesional ataupun pintar. Satu-satunya yang berputar di kepala hanyalah cara menyingkirkan Tristan dan jadi mandiri. Mungkin aku bisa mulai dengan cara mencari hunian murah yang aman dan sehat. Ide bagus.
“Jangan pendam sendiri, ya?” Zack masih mengejarku. “Kamu nggak harus melindungi Tristan. Kalau dia mengabaikanmu, kamu harus datang ke Papa.”
INGIN CERAI! AKU INGIN CERAI.
Akan tetapi, hanya kebohongan saja yang bisa kuucapkan. “Oke, Pa.”
***
Selesai ditulis pada 27 Nopember 2022.
(0_0) Saya penasaran alasan Milky ngotot keluar malam. Padahal dia nggak bisa berantem dan selalu lari kalau diajak duel kucing jantan. Apa semua kucing jantan memang begini? Oh ya saya baru tahu kalau kelelawar pemakan buah suaranya mirip cewek cekikikan. Wkwkwkwk. Saya sempat mikirin makhluk halus yang sedang ketawa. :”) menertawakan diriku yang sedang mikirin beban duniawi dan segenap persoalan. Ternyata zonk. (0_0) Kelelawar, bukan hantu.
Jangan telat makan, ya? Pokoknya jaga kesehatan dan semoga kalian dijauhkan dari orang jahat dan dipermudah dalam melakukan pekerjaan. I love you, teman-teman.
Salam hangat,
G.C
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romantik"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...