Perseteruan antara Monica dan Tristan berjalan alot. Monica setuju dengan keinginanku bebas dari Tristan, sementara putranya menolak keras ide cemerlang milikku. Namun, tak lantas aku kehilangan semangat juang memerdekakan diriku dan Damian. Sembari menanti kabar dari Liam, aku pun mulai mempercepat proses menjual perhiasan dan mengubahnya menjadi uang. Kan Tristan orang kaya, dia tidak mungkin pelit dalam urusan uang ganti rugi, bukan? Anggap saja biaya kesehatan telingaku yang sakit karena mendengar ocehan Monica selama sekian hari.
Sabar.
Hanya satu kata itu yang bisa kutanamkan dalam batin. Aku tidak boleh tersulut emosi hingga mengacaukan rencana yang tersusun rapi. Damian menjadi pertaruhan terbesar dalam pertarungan. Bila sampai terjadi perceraian dengan metode keras, maka hakim kemungkinan besar akan mempertimbangkan Tristan sebagai pemegang hak asuh. Secara Tristan memiliki bisnis dan penghasilan yang bisa menyokong kehidupan Damian, sangat berbeda denganku yang bergantung pada bisnis acak kadut.
Belum termasuk penilaian mengenai etika. Dampak sikap "asal ngamuk tanpa pikir panjang" ketika berhadapan dengan Monica akan menjadi bumerang. Aku tidak mau berpisah dengan Damian.
Nah Monica, untungnya, tidak tertarik membesarkan Damian. Tambahkan dengan betapa ingin dia menikahkan Tristan dengan Vivian.
Sempurna!
Ketika Monica tanpa lelah membujuk Tristan menyetujui permintaan cerai, pesan bahagia muncul di ponselku. Liam mengabarkan telah menemukan hunian. Jadilah pada pukul sembilan pagi aku meminta janji temu. Liam menjemputku dan sialnya ada Madam Lampir di rumah yang bagai istana ratu siluman buaya putih.
Sempat terbersit terawangan masa depan mengenai adegan Monica mencaci maki Liam. Namun, tidak terjadi apa pun. Liam masuk dengan selamat tanpa satu kekurangan pun. Monica sama sekali tidak ambil pusing mengenai keberadaan Liam. Dia hanya fokus duduk cantik sembari membalik halaman majalah gosip.
"Mertuamu...."
"Dia sehat dan sangat sehat juga sehat amat sehat," aku memotong ucapan Liam.
Kami berdua berada dalam mobil. Rencananya sebelum menengok hunian baru, kami akan menjemput Damian terlebih dahulu.
Aku mencoba mengabaikan pikiran buruk mengenai betapa seksi Liam dalam balutan kemeja lengan pendek dan celana jins. Astaga. Colek sedikit sepertinya tidak masalah. Eh masalah sih karena aku masih berstatus sebagai istri Tristan. Sungguh tidak adil. Tristan boleh syalalala ulalala dengan Vivian, sedangkan aku harus menelan pil pahit sendirian.
"Apa Tante Monica selama ini memang memperlakukanmu dengan tidak baik?"
"Ya," aku menjawab pertanyaan Liam, "selama ini dia sangat membenciku. Bahkan dia tidak sungkan mempertontonkan rasa tidak sukanya terhadapku."
"Violet, tenanglah. Aku akan berusaha membantumu memenangkan hak asuh Damian."
Seulas senyum tergurat di wajahku. Liam pasti sangat menyayangi Violet. Andai saja Violet bersedia membuka mata dan mencari cinta pada lelaki lain, maka pastilah saat ini hanya kedamaian dan kebahagiaan saja yang mampir. Bukan Madam Lampir dan Ratu Judes, Vivian.
"Liam, terima kasih atas segalanya."
Sepanjang perjalanan hatiku dipenuhi oleh bunga-bunga seolah musim semi telah tiba. Ada bermacam khayalan mengenai kehidupan ideal versiku dan di sana pastilah ada Damian dan Liam. Aku berharap khayalan dalam kepala lekas jadi nyata.
Sesampainya di TK Damian dengan tangan terentang berlari menghampiriku. Sesekali dia menempelkan pipi ke wajahku dan berkata, "Om Liam keren."
"Sssss," aku memperingatkan Damian dengan suara halus yang hanya bisa didengar oleh kami berdua saja, "jangan keras-keras. Nanti Om Liam tahu kalau dia keren."
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...