Barangkali aku harus mengucapkan terima kasih kepada Damian. Berkat anakku-yang-manisnya-enggak-ketolongan itu kecanggungan akibat pengakuan cinta serbadadakan tidak terlalu mencekik diriku.
Apakah aku berharap diterima Liam?
Sedari awal tidak ada ekspektasi khusus. Aku menjalani hidup dengan pikiran positif, sedikit dibumbui gibahan dalam hati, dan berusaha menerima hal terburuk. Lagi pula, ditolak cowok bukan satu-satunya pengalaman mengerikan yang pernah kualami. Tuntutan orangtua, mendapat perlakuan tidak menyenangkan akibat fisik dan latar belakang keluarga, dan belum termasuk perundungan dari sepupu maupun om serta tante.
Aku hanya ingin menyelesaikan urusan hati secepat mungkin! Jauh lebih baik menghadapi penolakan dini daripada mati penasaran lantaran tidak tahu perasaan Liam yang sesungguhnya!
Aku janda muda yang masih bisa mengejar cinta! Legal! Legal dong membina hubungan dengan pria yang statusnya masih jomlo dan belum tertarik ke lain hati. Hmmm kecuali bila ternyata Liam lebih menyukai cowok cantik atau cowok berotot daripada aku yang seksi-menggoda-menawan-hai-hai!
“Ma, ngantuk.”
Rengekan Damian berhasil menarikku dari zona melamun indah menuju realitas. Iyups, kakiku sudah menjejak dunia nyata.
Damian sukses menyeret Liam ke setiap stan permainan yang menurutnya menarik. Dia minta ditemani naik komidi putar, lalu main lempar gelang, dan bahkan memohon Liam agar ikut foto ke sejumlah patung superhero. Liam sama sekali tidak keberatan (menurut hemat saya) dan pasrah diajak ke sana dan kemari seolah permintaan Damian sama sekali tidak merepotkan.
Ketika aku hendak menunduk, Liam dengan tangkas meraih Damian dan menggendongnya. Damian menguap, mengucek mata, kemudian menyandarkan kepala ke dada Liam.
Dalam hati aku menjerit histeris: “Nak, Mama juga mau!” Namun, tentu saja itu tidak bisa aku utarakan.
“Biar aku saja,” kata Liam.
Kami berdua pun berjalan keluar dari area permaian. Beberapa kali aku menangkap lirikan dari cewek yang sepertinya tertarik berkenalan dengan Liam. Begitu tatapan mata mereka jatuh kepada Damian, yang sedang tidur nyenyak, lalu kepadaku; maka, hasrat apa pun yang sempat membara dalam diri mereka pun padam, lenyap, wuuuuuuuuz.
Begitu sampai di parkiran, Liam membaringkan Damian di kursi penumpang. Aku memilih duduk bersama Damian di belakang. Saat kupikir Liam akan segera melajukan mobil, ternyata dia justru berkata, “Violet, mengenai....”
“Tidak apa-apa,” aku memotong ucapan Liam, “kamu nggak harus menerimaku. Aku paham kok bahwa kamu mungkin saja suka dengan orang lain. Jadi, oh, sebenarnya aku hanya ingin melepaskan beban dalam hati. Bahwa aku suka kamu dan sekalipun kamu nggak bisa menerimaku ... hmm ya nggak apa-apa.”
Aku akan patah hati andai mendengar pernyataan Liam yang lain, pernyataan seperti, “Violet, kamu terlalu baik bagiku.” OUCH! Sakit.
Tolong jangan katakan itu!
“Violet, kadang aku mengira bahwa ada orang lain yang mengambil alih ragamu.”
DEG! DEG! DEG! Aduh ucapan Liam memang tidak salah. Aku bukan Violet dan tidak ingin menjalankan kewajiban sebagai mempelai Tristan.
“Kamu berubah,” lanjutnya. Senyum manis menghiasi wajah Liam, membuatku seolah akan terkena serangan jantung. “Perubahan baik. Dulu kamu jarang tersenyum dan hanya peduli pada hal-hal yang berkaitan dengan Tristan. Hanya sedikit saja kamu curahkan waktu pada seni, pada lukisanmu.”
“Apa artinya kamu menerima lamaranku?”
... dan otakku memang cerdas. HIKS.
Liam terkekeh. Suara tawa yang keluar dari mulutnya benar-benar merdu. “Ya,” jawabnya, “anggap saja begitu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...