Minggu indahku hampir hancur gara-gara Tristan. Dia mulai menawarkan diri menolongku dalam hal memilih hadiah ulang tahun. Violet yang asli pasti langsung mabuk kepayang begitu mendengar kata-kata berisi perhatian keluar dari mulut Tristan. Namun, aku berbeda. Aku bukan Violet. Pengalaman hidup sebagai orang buangan mengajariku agar tidak mengemis perhatian dan validasi dari siapa pun, termasuk berhati-hati dalam menyikapi kebahagiaan. Perasaan seolah takut bila terlalu bahagia, maka nanti tiba-tiba ada dukacita yang mengekor di belakang. Waspada. Tentu saja.
Aku ingin merdeka dari perasaan tergantung kepada seseorang. Seolah aku tengah berpegang erat pada seutas tali yang menjagaku aman dari kejatuhan. Putus asa, merasa sia-sia, dan lelah. Cukup sudah dengan segala teror dan tuntutan orang terhadapku. Aku manusia. Makhluk yang terbuat dari daging, darah, dan tulang. Bukan robot yang tidak memiliki perasaan maupun emosi. Aku bisa sakit hati dan merasa kecewa.
Hidup sebagai Violet merupakan kesempatan hidup kedua bagiku. Kali ini aku harus mengutamakan keselamatan mentalku di atas segalanya! PERSETAN DENGAN TRISTAN DAN IBU MERTUA!
“Violet, kenapa kamu seolah ingin menjauh dariku?”
Tristan seharian ini membayangiku. Belum cukup merusak momen bahagia antara aku dan Damian (padahal kami—aku dan Damian—sedang asyik membuat pembatas buku dan datanglah Tristan), Tristan justru memaksakan keberadaannya di sekitar lingkaran hidupku.
“Aku dan Damian sedang sibuk,” jawabku ketus.
Tanganku menghitung lukisan yang akan kuserahkan kepada Liam. Aku belum membuat janji temu terkait pameran dan BODOHNYA AKU TIDAK MINTA NOMOR PONSEL LIAM!
“Apa kamu nggak bisa meluangkan waktu untuk suamimu?” Tristan menuntut. Dia berdiri di sampingku, sama sekali tidak peduli dengan ketidaknyamanan yang ia ciptakan. “Aku berusaha memperbaiki pernikahan kita.”
Oh diskusi mengenai pernikahan. Sontak aku melirik Damian yang sedang memeluk kakiku, seperti beruang lucu menggemaskan. Aku menunduk dan berkata kepada Damian, “Sayang, Mama perlu bicara sebentar dengan Papa. Kamu langsung ke kamar dan amankan hadiah Kakek, ya?”
“Tapi, Ma....” Suara Damian terdengar bergetar, siap menampik permintaanku. “Nanti Mama sendirian.”
“Ada Papa,” Tristan menyahut.
Sumpah mati ingin sekali menghajar Tristan, tetapi aku bertahan karena ada anak-anak.
“Maaaa,” Damian merengek, “aku boleh di sini, ya?”
Aku menggeleng. “Damian, Mama butuh waktu berdua dengan Papa. Kamu anak manis, ‘kan? Jadi, tolong amankan hadiah Kakek dan Mama janji akan menyusulmu di kamar.”
Pada akhirnya Damian mengalah. Dia membawa kotak berisi puluhan pembatas buku buatan kami dan melangkah gontai menjauhiku dan Tristan.
Sekarang hanya ada aku dan Tristan.
Berdua saja.
Sungguh menyebalkan.
Aku berdiri tegap, berharap bisa sedikit menampilkan keberanian di hadapan Tristan.
“Kamu berubah,” katanya.
“Waktu dan kekecewaan mengubah semua orang, Tristan.”
“Tidak,” Tristan menepis omonganku, “kamu seperti orang yang berbeda. Aku hampir saja mengira kamu bukanlah Violet, melainkan orang lain yang memiliki wajah dan suara istriku.”
Jantung hampir saja berhenti berdetak begitu mendengar komentar Tristan terkait diriku.
Tidak salah. Orang yang sekarang berdiri di hadapan Tristan hanyalah segumpal kegagalan dari dimensi lain—alien buruk rupa yang berharap bisa melindungi Damian dan memperbaiki harkat hidup dengan cara memanfaatkan kekayaan milik Violet.
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...