Kegelapan menarikku semakin dalam menuju ketiadaan. Perasaan tercekik pun perlahan sirna ketika aku menerima keadaanku. Ya, benar. Tidak ada guna melawan. Lebih baik kubiarkan kegelapan membawaku menyeberang ke tempat mana pun yang ia kehendaki.
Begitu aku memutuskan menyerah, justru sensasi hangat terasa menggelitik sekujur tubuh. Dimulai dari ujung kaki, naik ke lutut, kemudian semua bagian dari ragaku merasa seperti diselimuti oleh ribuan kunang-kunang mungil.
“Mama!”
Aku bisa mendengar suara seseorang. Dia meneriakkan satu kata itu MAMA secara berulang kali. Anehnya, sekalipun aku tahu bukan diriku yang tengah dicari oleh sumber suara itu, seluruh ragaku seakan dihela oleh suatu tarikan kuat. Aku tak kuasa mengendalikan diri, terseret, dan tiba-tiba dadaku seolah dihantam!
Sontak kedua mata terbuka. Cahaya terang menyerbu indra pengelihatan, sekejab membutakanku sebelum akhirnya secara perlahan pengelihatanku pun terbiasa. Langit-langit menjadi benda pertama yang terlihat olehku. Kupikir telah kehilangan kemampuan bernapas, tetapi begitu aroma lembut membuai indra penciuman, sadarlah aku bahwa diriku masih hidup.
Baik benar orang yang rela menyelamatkan diriku dari danau, pikirku. Bahkan si penyelamat ini membawaku ke rumah sakit. Bukan sembarang rumah sakit, melainkan rumah sakit elite. Buktinya ketika jemariku meraba terasa alas tidur lembut lalu....
Oh seseorang tengah memeluk tangan kananku. Aku menengok, mencoba mencari tahu siapa gerangan, dan mendapati seorang bocah tengah bergelung di sampingku. Ketika tidur saja dia terlihat manis dan menggemaskan. Seperti anak-anak orang ternama yang biasa berseliweran di layar kaca. Dia mengenakan piama bercorak garis-garis biru dan gambar panda tengah mengunyah bambu. Selama beberapa saat aku terbuai oleh malaikat mungil ini.
Sihir ajaib itu tidak bertahan lama. Begitu aku mendapati berbagai macam furnitur mewah, gorden, dan sederet barang-barang yang jelas tidak mampu kubeli dengan pendapatanku; maka, jantung pun berdebar kencang.
“Ada di mana ini?” tanyaku dengan suara lirih.
Tubuh terasa berat. Tenggorokkan kering dan sedikit sakit. Aku berusaha menggerakkan badan. Akibatnya, bocah lelaki pun terbangun. Seperti seekor anak kucing, dia menguap dan mengucek mata. Kemudian dia menatapku dan berkata, “Mama?”
Aku ingin berteriak, “Aku bukan mamamu!” Namun, rasa sakit menghantam kepala. Pening! Beragam gambar, percakapan, nama, dan informasi berdesakan memasuki kepala. Semuanya terasa seperti milikku, padahal bukan. Aku meringis menahan sakit, luar biasa hebat.
“Mama! Mama, baik-baik saja?”
Damian. Itulah namanya. Bocah lima tahun ini merupakan putra kandung Violet, nama perempuan yang sekarang kutempati. Oh tidak, aku adalah Violet. Sekarang akulah Violet karena Violet yang asli sudah mati. Hahahaha kacau.
Oh tidak, tidak, tidak, tidak. Lelucon baru macam apa ini? Aku seharusnya berada di suatu tempat. Pokoknya tempat “lain”. Bagaimana bisa aku terlempar ke sini? Apa penunggu danau marah dan menjatuhi hukuman aneh kepada siapa pun yang ia anggap sebagai pengganggu?
“Mama?” Damian menempelkan kedua tangannya di wajahku. Ketakutan terpancar jelas di kedua matanya. “Mama, jangan tinggalkan aku,” tangisnya seraya menempelkan pipi kepadaku. “Aku janji nggak akan nakal. Mama, tolong jangan pergi.”
“A-air...”
Damian bergegas turun dari ranjang. Dia berusaha naik ke kursi, meraih gelas di meja, dan mengisinya dengan air. Berhati-hati dia menjaga agar tidak setetes air pun tumpah. Aku berusaha bangkit, walau masih sedikit pusing, dan membantu Damian.
Begitu menerima gelas, lekas aku minum dalam tegukan besar. Sebisa mungkin mengusir gelenyar tidak menyenangkan yang bersarang di tenggorokkan.
“Mama!” Damian memeluk perutku dan membenamkan wajah di sana. “Jangan sakit lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Violet is BLUE (Tamat)
Romance"Kepada para tante, om, keluarga, dan tetangga yang tidak tahu perjuangan hidupku, tolong berhenti membuatku merasa menjadi manusia gagal." Itulah sehimpun ratapan hati yang ingin kuadukan kepada mereka. Namun, hidup memang sedang tidak baik-baik sa...